Publik dan Presiden Satu Kata Desak Pengesahan RUU TPKS
Kekerasan seksual tidak bisa lagi dibiarkan. Publik kini menunggu janji DPR untuk menetapkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR, kemudian secepatnya membahas dan mengesahkannya menjadi UU TPKS.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu kekerasan seksual saat ini telah menjadi perhatian publik. Publik setuju dengan permintaan Presiden Joko Widodo agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera disahkan.
Demikian hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tentang ”Sikap Publik terhadap RUU TPKS dan Peraturan Menteri tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus: Temuan Survei Nasional” yang diluncurkan pada hari Senin (10/1/2022) secara daring.
SMRC melakukan survei nasional terhadap 2.420 responden pada Maret dan Mei 2021. Survei tersebut diperbarui dengan tatap muka pada 8-16 Desember 2021 dan telepon pada 5-7 Januari 2022.
Dari survei tersebut ditemukan dukungan terhadap RUU TPKS dan Permendikbud diberikan mayoritas responden (65 persen) yang mewakili pemilih nasional di hampir semua lapisan demografi dan wilayah. Hanya 21 persen yang tidak setuju, dan 14 persen yang tidak mempunyai sikap terkait RUU TPKS.
”Ini modal yang penting bagi Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk dapat mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang,” ujar Saidiman Ahmad, Manajer Program SMRC, dalam presentasi hasil survei.
Hadir memberikan tanggapan hasil survei tersebut, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dan sejumlah anggota DPR, yakni Ketua DPP PKB sekaligus anggota Komisi IV DPR Luluk Nur Hamidah, Sekretaris Fraksi PKS sekaligus anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amalia, Ketua DPP Nasdem sekaligus anggota Komisi III DPR Taufik Basari, dan Ketua Komnas Perempuan 2010-2014 Yuniyanti Chuzaifah.
Saidiman menyatakan, dilihat dari opini publik nasional pada umumnya, dua kebijakan yang terkait dengan kekerasan seksual tersebut tidak menimbulkan resistensi. Sebaliknya, mendapatkan dukungan publik. Bahkan, dukungan mayoritas terhadap pengesahan RUU TPKS konsisten sejak survei pada Maret 2021.
Kalaupun ada opini negatif di tingkat elite dan massa sebagaimana muncul di berbagai media, opini tersebut tidak mewakili opini publik nasional. ”Opini negatif yang relatif sedikit itu wajar dalam sebuah masyarakat yang majemuk dan bebas untuk menyatakan pendapat,” ujaar Saidiman.
Kendati demikian, survei juga menemukan bahwa informasi tentang RUU TPKS belum banyak diketahui masyarakat. Lebih dari 60 persen responden tidak mengetahui adanya RUU TPKS. Namun, dari responden yang tahu, mayoritas setuju dengan adanya RUU tersebut.
Dilihat dari demografi, tingkat pengetahuan publik pada RUU tersebut lebih banyak datang dari masyarakat yang tinggal di perkotaan, berpendidikan tinggi, dan berpendapatan besar.
Sementara dari sisi massa pemilih partai, mayoritas (lebih dari 50 persen) pemilih Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional setuju dengan adanya RUU TPKS. Sementara dukungan dari massa pemilih Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat paling rendah (37 persen).
Permendikbud bukan membenarkan perzinahan
Adapun pandangan publik terkait Permendikbud tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus, mayoritas publik yakin peraturan tersebut merupakan upaya untuk melindungi korban. Begitu juga apakah Permendikbud tersebut membenarkan perzinahan atau tidak membenarkan perzinahan, mayoritas responden menyatakan Permendikbud tersebut bukan pembenaran atas perzinahan.
”Di antara yang tahu, massa setiap pemilih partai hampir semuanya (78-98 persen) mendukung Permendikbud tersebut, dan mayoritas (74-98 persen) menilai Permendikbud tersebut tidak membenarkan perzinahan, tetapi upaya melindungi korban dari kekerasan seksual,” ujar Saidiman.
Nadiem Makarim menyambut baik hasil survei tersebut. Dia menegaskan, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 melewati proses yang panjang. Bahkan setelah Permendikbud tersebut disahkan, muncul banyak sekali respons dari masyarakat dan kebijakan.
”Sampai hari ini, kami terus menerima masukan sebagai bahan pertimbangan bagaimana mendorong terwujudnya pendidikan yang merdeka dari kekerasan seksual,” ujar Nadiem.
Yuni menilai, survei tersebut penting. Sebab, isu kekerasan seksual merupakan isu publik, dan survei tersebut juga bagian dari upaya menghentikan banalitas kekerasan seksual. ”Survei ini memperlihatkan masyarakat semakin jernih berpikir, dan mungkin lelah pada politisasi agama. Ini juga bentuk kesadaran publik yang lebih kuat,” katanya.
Adapun Ledia mengungkapkan bahwa bagi F-PKS, persepsi publik tidak selalu sama dengan substansi permasalahan yang sesungguhnya. ”Semua di Badan Legislasi (DPR) sepakat bahwa kejahatan seksual bukan persoalan yang ringan. Ini harus diselesaikan, dan pelaku dihukum seberat-beratnya,” ujarnya.