Mitigasi Pencegahan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Keagamaan Disiapkan
Pesantren memiliki kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa jauh sebelum Indonesia merdeka. Keterbukaan pesantren untuk diawasi publik penting guna mencegah berbagai masalah kekerasan seksual hingga terorisme.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Lembaga pendidikan keagamaan yang berkiprah mencerdaskan bangsa jauh sebelum Indonesia merdeka terbukti mempunyai kontribusi berarti dalam menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dalam keilmuan dan keagamaan. Di tengah berbagai sorotan tentang isu kekerasan seksual hingga intoleransi/terorisme, lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pesantren, diajak berbenah untuk menghadirkan pendidikan dengan pemahaman keagamaan yang moderat dan sesuai hukum-hukum nasional serta internasional.
Dalam diskusi bertajuk ”Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Islam” yang digelar Kementerian Agama di Jakarta, Kamis (3/2/2022), Direktur Jenderal Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani menyadari adanya sorotan yang menjadi perhatian publik terkait penyelenggaraan pendidikan di lembaga keagamaan seperti pesantren. Ada isu tentang kekerasan seksual, paham intoleransi/terorisme, dan tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif yang seharusnya dihadirkan.
Terkait kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, ujar Ali, Kementerian Agama sedang menyiapkan regulasi pencegahan seksual sebagai langkah mitigasi. ”Kami sudah mulai menyusun regulasinya. Kami jaring saran dan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari ormas keagamaan,” ujar Ali.
Penyusunan peraturan Menteri Agama (PMA) juga akan memperhatikan dinamika dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. PMA disusun dengan memperhatikan keberagaman dan kekhasan yang ada di lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pesantren.
Dalam beberapa tahun ini, setidaknya ada 12 laporan yang muncul terkait kasus kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan yang terjadi di Bandung, Tasikmalaya, Kuningan, Cilacap, Kulonprogo, Bantul, Pinrang, Ogan Ilir, Lhokseumawe, Mojokerto, Jombang, dan Trenggalek. Beberapa kasus di antaranya masih berproses di pengadilan.
Menurut Ali, terjadinya kejahatan seksual di lembaga pendidikan keagamaan karena masih adanya ”ruang gelap” yang memberikan peluang bagi pimpinan/oknum lainnya untuk melakukan kekerasan seksual. Salah satunya karena tidak ada akses bagi pemangku kepentingan, termasuk orangtua, untuk secara terbuka dapat memantau lembaga pendidikan tempat anak-anak mereka menimba ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
Terjadinya kejahatan seksual di lembaga pendidikan keagamaan karena masih adanya ”ruang gelap ” yang memberikan peluang bagi pimpinan/oknum lainnya untuk melakukan kekerasan seksual.
”Nanti ada aturan bahwa orangtua dapat ikut memantau anak-anak, bisa berkunjung. Untuk ruang belajar atau tempat lain, juga harus yang bisa terpantau dari luar. Kita tidak boleh membiarkan lembaga pendidikan agama eksklusif, harus bisa terpantau oleh pihak luar yang terkait untuk pengawasan,” kata Ali.
Rukun pesantren
Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghafur mengatakan, pesantren dalam konteks keindonesiaan menjadi nomenklaur lembaga pendidikan keagamaan yang didirikan kiai atau pengasuh. Ada sekitar 36.000 pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama, dan semuanya atas inisiatif masyarakat.
Pesantren pun terus berkembang. Ada pesantren dengan lembaga pendidikan keagamaan yang menjalankan pendidikan agama murni, yang disebut pendidikan diniyah, ada yang diatur setara SD, SMP, dan SMA. Ada juga yang menjalankan satuan pendidikan kesetaraan, atau sering disebut pesantren modern, dan pesantren yang menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan tingkat sarjana dan magister. Lalu, ada juga pesantren yang terintegarasi dengan pendidikan umum.
Waryono mengatakan, pesantren telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Unsur-unsur minimal dalam pesantren harus terpenuhi, yakni ada pengasuh (kiai dan bu nyai), ada santri yang menetap di asrama minimal 15 orang (yang bukan anggota keluarga pengasuh), ada asrama, ada tempat ibadah, dan memiliki kajian kitab kuning.
Selain itu, pesantren harus memiliki semangat kebangsaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). lagu ”Indonesia Raya” dan upacara bendera tetap ada dalam pesantren. Selain itu, ada kemandirian, termasuk otoritas bagi pengelola pesantren untuk menentukan kurikulum pendidikan yang dijalankan.
”Negara tidak mengintervensi. Yang penting moderasi, tidak mengajarkan kekerasan verbal dan non-verbal,” kata Waryono.
Oleh karena itu, tidak semua lembaga pendidikan keagamaan yang menyebut lembaganya sebagai pesantren dapat sah disebut pesantren. Ada berbagai rukun pesantren yang harus dipenuhi.
”Kami prihatin, sedih, dan shock dengan berbagai laporan tentang kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan keagamaan yang disebut pesantren. Namun, kami punya komitmen untuk menghadirkan pesantren yang memenuhi rukun pesantren dan semangat NKRI,” kata Waryono.
Kementerian Agama juga membentuk tim kelompok kerja untuk percepatan penanganan tindak kekerasan seksual di pesantren. Sebagai langkah awal, tim pokja menjalin kerja sama dengan Pusat Studi Gender dan Anak Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri untuk membuat survei awal kepada komunitas pesantren.
Survei melibatkan 1.402 respoden di 34 provinsi, terdiri dari pengelola pendidikan keagamaan Islam, guru, santri, dosen, mahasiswa/siswa, pemuka agama, wali santri, dan pengelola pesantren. ”Lebih dari 95 persen responden menilai penting adanya regulasi dan mekanisme khusus untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan,” kata Waryono.
Staf Khusus Menteri Agama Bidang Image Buiding dan Pengembangan IT, Wibowo Prasetyo, mengatakan, minat masyarakat untuk mendidik anak-anak di pesantren tinggi. Karena itu, penting untuk memastikan wajah pesantren yang baik dan memenuhi harapan semua pihak untuk mendukung upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait dengan laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang menyebut ada 198 pondok pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terorisme, Ali mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan BNPT untuk medapatkan data dan memverifikasinya. Verifikasi dibutuhkan untuk memastikan apakah nama yang terdata di BNPT adalah pesantren yang memiliki izin terdaftar dari Kementerian Agama. Sebab, tidak semua pesantren yang ada memiliki izin dari Kementerian Agama.
”Jika tidak terdaftar dan dan tidak memenuhi arkanul ma’had atau rukun pesantren, tentu tidak bisa disebut pesantren, dan tidak boleh beroperasi atas nama pesantren. Sebaliknya, jika terdaftar dan terbukti berafiliasi dengan jaringan terorisme, tentu kita beri sanksi tegas hingga pencabutan izin,” kata Ali.
Pesantren harus memiliki komitmen kebangsaan dan nasionalisme. Sejarah perjuangan bangsa tidak lepas dari kontribusi pesantren. ”Banyak pahlawan bangsa yang lahir dari pesantren. Karena itu, pesantren lekat dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan,” kata Ali.
Sementara itu, Waryono mengimbau orangtua santri selektif dalam memilih pesantren untuk tempat menitipkan anak-anak mereka. Orangtua perlu memastikan pesantren yang dipilih adalah lembaga pendidikan yang memenuhi rukun pesantren sebagaimana diatur dalam regulasi. Para pengasuhnya memiliki standar keilmuan yang jelas.
”Jangan juga terlalu menggeneralisasi bahwa semua pesantren buruk. Ada ribuan pesantren yang bisa menjadi pilihan terbaik buat pendidikan anak-anak Indonesia,” kata Waryono.