Pelestarian wayang potehi terhambat antara lain oleh regenerasi dan terbatasnya ruang pentas. Tantangan bertambah dengan adanya pandemi Covid-19.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Ibarat kata, napas wayang potehi di Indonesia sedang tersengal-sengal. Setelah kesenian dari daratan China ini nyaris hilang di Indonesia pada masa Orde Baru, ketahanan wayang potehi kembali diuji di abad ke-21. Selain isu regenerasi, pandemi Covid-19 pun jadi tantangan baru.
Pelestari wayang potehi di Gudo, Jawa Timur, Toni Harsono, pada Jumat (4/2/2022) mengatakan, ia dekat dengan wayang potehi sejak kecil. Kakeknya yang seorang dalang wayang potehi datang dari daratan China ke Nusantara pada tahun 1920. Kakeknya membawa berbagai perlengkapan, mulai dari boneka dan panggung pertunjukan wayang.
Ayah Toni juga seorang dalang. Setelah tidak lagi menjadi dalang, ayahnya bekerja di kelenteng. Di kelenteng itulah Toni semakin akrab dengan wayang potehi karena sering melihat pembuatan wayang hingga pentas. Dulu, wayang potehi kerap dipentaskan di kelenteng.
Menurut dia, kini pentas wayang potehi makin jarang ditemukan. Padahal, pentas dinilai bukan sekadar panggung ekspresi seni dan budaya. Lebih jauh dari itu, pentas menjaga napas kelestarian wayang potehi.
”Tanpa pementasan, wayang potehi pasti punah,” kata Toni pada acara gelar wicara Menyusuri Kehidupan Wayang Potehi Gudo di kanal Youtube Bentara Budaya Jakarta dan Sonora FM.
Alasan pementasan wayang potehi kian jarang bermacam-macam. Salah satu alasannya ialah perubahan minat masyarakat terhadap wayang potehi karena globalisasi. Keterbukaan informasi dan komunikasi pun memungkinkan publik mengakses hiburan lain.
Regenerasi pegiat wayang potehi pun jadi isu. Toni mengatakan, tidak banyak generasi muda di Gudo yang mau belajar wayang potehi, terutama sebagai dalang. Sementara itu, orang yang berminat membuat boneka potehi tetap ada.
”Kami sebenarnya terbuka bagi siapa saja yang mau belajar menjadi dalang. Tapi, peminatnya tidak banyak,” kata Toni. ”Yang mau membuat boneka ada. Mungkin itu karena mereka bisa memperoleh pendapatan dari boneka. Sebaliknya, jika tidak ada pementasan, dalang tidak memperoleh pendapatan,” tambahnya.
Imbas masa lalu
Sepinya minat generasi muda terhadap wayang potehi, menurut pimpinan Rumah Cinta Wayang (Cinwa) Dwi Woro Retno Mastuti, merupakan dampak peraturan pemerintah di zaman Orde Baru. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 kala itu melarang seni budaya China ditampilkan di muka publik, termasuk pertunjukan wayang potehi.
Peraturan tersebut dinilai berandil besar dalam meluruhkan akar budaya Tionghoa ke generasi selanjutnya. Peraturan ini juga memutus memori kolektif masyarakat terkait wayang potehi.
”Ini membunuh karakter kebudayaan. Dampaknya sampai ke anak-anak muda kita. Tidak heran jika orang tidak tertarik (dengan wayang potehi),” ucap Woro yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Sebelumnya, dalam video wawancara dengan Kompas pada 2019, sinolog Universitas Indonesia, Eddy P Witanto, mengatakan, banyak orang di zaman dulu khawatir didatangi aparat jika nekat menggelar pentas wayang potehi. Hal ini perlahan mematikan kesenian rakyat.
Pertunjukan wayang potehi biasanya digelar saat perayaan Cap Go Meh. Pentas wayang juga kerap digelar kelenteng saat hari ulang tahun dewa. Eddy mengatakan, pada 1960-an, masih banyak kelenteng yang nanggap atau menggelar pertunjukan wayang potehi.
Adapun wayang potehi berakar dari seni pertunjukan boneka Zhangzhou, Provinsi Fujian, China, pada masa Dinasti Han (206-220 Masehi). Potehi kemudian lahir dari para tahanan yang menunggu hukuman mati di penjara Zhangzhou pada era Dinasti Jin (265-420 Masehi). Para tahanan disebut menghibur diri dengan membuat boneka kantong dari bahan-bahan yang ditemukan di dalam sel.
Kesenian wayang potehi kemudian berkembang pesat di China pada masa Dinasti Tang. Tepatnya pada masa pemerintahan Kaisar Ming Huang (713-756 Masehi). Wayang potehi diperkirakan masuk ke Nusantara pada abad ke-16.
Tantangan baru
Setelah Inpres No 14/1967 dicabut di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, wayang potehi kembali dipentaskan di muka publik. Kendati demikian, kini ketahanan wayang potehi kembali diuji dengan beragam tantangan baru. Selain regenerasi, kerja sama semua pemangku kepentingan untuk menghidupkan kembali wayang potehi dinilai belum optimal.
Menurut Woro, menghidupkan wayang potehi membutuhkan peran akademisi, media, pemerintah, hingga masyarakat. Akademisi untuk meneliti wayang potehi dari berbagai sudut pandang. Media untuk memublikasikan hasil riset kepada publik. Pemerintah untuk mendukung gerakan pelestarian seni budaya. Lalu, masyarakat untuk ikut serta dalam pelestarian wayang potehi.
Komitmen pelestarian wayang potehi pun masih rendah. ”Ini tampak dari anggaran kebudayaan yang umumnya lebih sedikit dibanding sektor lain, misalnya infrastruktur,” kata Woro.
Pandemi Covid-19 pun menghambat upaya pelestarian wayang potehi. Toni menyebut, sejumlah pertunjukan wayang ditiadakan selama pandemi. Para pegiat wayang potehi pun menganggur hingga akhirnya beralih profesi.
Kendati melambat, pelestarian wayang potehi dinilai tidak lantas mati. Inovasi dan kreativitas mesti jadi roh pelestarian. Pertunjukan digital bisa dijajal. Adaptasi wayang potehi menjadi film, komik, hingga tulisan bisa dicoba. Kata Woro, potensi pelestarian wayang potehi sebenarnya besar.
”Bagi saya, budaya adalah hasil ketahanan suatu bangsa sehingga penting sekali masyarakat menjaga budayanya. Jangan marah-marah hanya ketika budayanya diakui bangsa lain,” ucapnya.