Hapus Diskriminasi dan Penuhi Hak Perempuan Penyandang Disabilitas
Stigma, bias jender, dan diskriminasi mengakses pendidikan menjadi penghambat perempuan penyandang disabilitas untuk meningkatkan kapasitas diri. Dibutuhkan dukungan lintas sektor untuk memenuhi hak-hak mereka.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Perempuan penyandang disabilitas mempunyai potensi dan bakat seperti perempuan lainnya maupun laki-laki. Diskriminasi yang menjadi penghambat untuk mengembangkan diri harus dihapus. Selain itu, butuh dukungan lintas sektor untuk memenuhi hak-hak mereka dengan lebih banyak dilibatkan dalam berbagai bidang.
Ketua Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia mengatakan, perempuan penyandang disabilitas masih menghadapi beragam kendala dalam kehidupannya. Stigma, bias jender, dan diskriminasi mengakses pendidikan menjadi penghambat untuk meningkatkan kapasitas diri.
“Hambatan itu harus dihilangkan. Pelibatan penyandang disabilitas perlu didukung agar memiliki capacity building (peningkatan kemampuan). Jadi, ketika mereka punya tantangan karena disabilitasnya, mereka tetap percaya diri,” ujarnya dalam webinar bertajuk "KSIxChange41: Mendobrak Bias dan Mewujudkan Kesetaraan Gender" yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI), di Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Pemenuhan hak perempuan penyandang disabilitas meliputi berbagai hal, di antaranya akses pendidikan dan kesehatan. Selain itu, kesempatan memperoleh pekerjaan dengan upah setara dengan laki-laki penyandang disabilitas mesti dibuka.
Dante menyebutkan, berdasarkan data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2018, tingkat melek huruf perempuan penyandang disabilitas sebesar 44,5 persen. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan lelaki penyandang disabilitas dengan 60,9 persen.
“Perempuan penyandang disabilitas juga berpenghasilan lebih rendah. Hal ini memerlukan advokasi dari berbagai pihak untuk membuat pemenuhan hak-hak mereka menjadi lebih baik,” ucapnya.
Langkah awal yang harus ditempuh yakni membangun kesadaran jika perempuan disabilitas juga mempunyai potensi. Selain itu, menggali faktor-faktor penghalang bagi mereka dalam mengembangkan diri.
Melibatkan mereka dalam berbagai bidang juga penting demi membangun kepercayaan diri. Dengan begitu, perempuan penyandang disabilitas mempunyai kapasitas untuk mandiri dan berkontribusi di masyarakat, bahkan untuk negara.
“Membicarakan tentang perempuan penyandang disabilitas sebagai kelompok marjinal tapi tidak melibatkan penyandang disabilitas dalam pembicaraan adalah tindakan memarjinalkan penyandang disabilitas itu sendiri,” ujar Dante.
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati menuturkan, pemenuhan hak perempuan penyandang disabilitas memerlukan intervensi lintas sektor. Bukan hanya komitmen global serta regulasi pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga dukungan dalam memudahkan mengakes perkembangan teknologi.
Vivi mengatakan, pemerintah berupaya mengimplementasikan agenda global dan nasional pada penghormatan hak-hak perempuan dan kelompok rentan yang tercantum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
“Memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal, mulai dari kolaborasi dan melokalkan SDGs, mempertemukan prinsip global dengan nilai lokal secara inklusif, integratif, dan akuntabel, dan memperluas proyek-proyek yang memiliki dampak sosial,” ujarnya.
Dalam webinar yang digelar pada peringatan Hari Perempuan Internasional tersebut juga dilakukan peluncuran buku “Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) dalam Praktik”. Buku berisi 30 cerita itu menyoroti pentingnya integrasi pengetahuan dalam kebijakan dengan melibatkan kelompok rentan sebagai sumber pengetahuan dan advokat aktif.
Konselor Menteri untuk Pemerintahan dan Pembangunan Manusia untuk Kedutaan Besar Australia di Jakarta Kirsten Bishop meyakini buku itu akan menjadi referensi berharga dalam advokasi kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial di Indonesia. “Kami menyadari, tanpa ada penelitian yang sensitif GEDSI, serta data dan bukti kuat, akan sulit mendapat solusi tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kelompok rentan terutama dalam masa pemulihan sesudah pandemi,” ujarnya.