Menteri PPPA Apresiasi Putusan Hakim pada Herry Wirawan
Kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan. Tuntutan hukum yang berat para pelaku menjadi pembelajaran untuk memberikan efek jera pada pelaku.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang menjatuhkan pidana mati kepada terpidana Herry Wirawan, pelaku kekerasan seksual dan eksploitasi 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat, diapresiasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Di sisi lain, ia juga menghormati putusan, termasuk upaya hukum lain yang masih memungkinkan dilakukan oleh terpidana melalui upaya kasasi.
”Menurut kami putusan tersebut sudah sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan sesuai harapan masyarakat. Demikian juga terkait dengan putusan restitusi yang dibebankan kepada pelaku, sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam keterangan pers, Senin (4/4/2022).
Menteri PPPA menilai putusan hakim sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) PN Bandung, yang menuntut hukuman mati pada terdakwa. ”Putusan hukuman mati dan pembebanan restitusi kepada pelaku ini diharapkan tidak hanya memberikan efek jera serta mencegah berulangnya kembali kasus yang sama di masa depan, tetapi juga memastikan kepentingan terbaik anak-anak korban beserta anak-anak yang dilahirkannya,” kata Bintang.
Terdakwa Herry divonis pidana mati karena sejumlah pertimbangan yang memberatkannya antara lain perbuatannya menimbulkan trauma dan penderitaan terhadap korban dan orangtua korban. Selain itu, perbuatan terdakwa menimbulkan anak-anak dari para anak korban dan perbuatan terdakwa dianggap mencemarkan lembaga pondok pesantren dan merusak citra agama Islam.
Tidak ada satu pun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus pemerkosaan.
Selain itu, dalam putusannya majelis hakim PT juga menetapkan sembilan anak dari para korban agar diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini UPT Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat. Hal itu dilakukan setelah mendapatkan izin dari keluarga masing masing dengan dilakukan evaluasi secara berkala.
Namun, apabila dari hasil evaluasi ternyata para korban dan anak korban sudah siap mental dan kejiwaan untuk menerima dan mengasuh kembali anak-anaknya, dan situasinya telah memungkinkan, anak-anak tersebut dikembalikan kepada para korban masing-masing.
Hakim juga memutuskan untuk merampas harta kekayaan/aset terdakwaberupa tanah dan bangunan serta hak-hak terdakwa dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda.
Aset lainnya baik yang sudah disita maupun yang belum dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dilakukan penjualan lelang dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah, yakni Pemerintah Provinsi Jawa Barat, untuk dipergunakan sebagai biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban dan bayi-bayinya hingga mereka dewasa atau menikah.
Bukan solusi
Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)menilai hukuman mati dalam kekerasan seksual bukan solusi bagi korban. Meskipun mengapresiasi putusan PT Bandung terkait dengan restitusi bagi korban, ICJR menyayangkan dijatuhkannya hukuman mati kepada pelaku.
”Putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual karena fokus negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya,” ujar Maidina Rahmawati, peneliti ICJR.
Hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual, justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban. Maidina mengutip pernyataan UN High Commissioner for Human Rights, Michelle Bachelet, yang menyampaikan meskipun pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya.
Sebab, tidak ada satu pun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus pemerkosaan. Masalah dari kasus-kasus pemerkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Bachelet, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini.
Menurut Maidina, pidana mati terhadap pelaku pemerkosaan ditentang oleh banyak kelompok perempuan, dan disebut sebagai solusi yang populis terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Penerapan pidana mati terhadap pelaku pemerkosaan ini juga dapat berdampak pada semakin menurunnya angka pelaporan karena selama ini, pelaku kekerasan seksual didominasi oleh orang-orang terdekat korban.