Botanik, Beras Organik Andalan Bondowoso
Dulu, hampir semua petani di Bondowoso, Jawa Timur, bergantung pada pupuk dan pestisida, tetapi kini sebagian dari mereka sudah menjadi petani merdeka. Berkat kesadaran mengembangkan pertanian organik, hidup mereka membaik.
Komoditas andalannya adalah beras. Produksi beras organik dari petani Bondowoso itu diberi label Botanik. Jenisnya beras putih Pandan Wangi, beras merah, dan beras hitam. Pertanian organik mulai dilakukan sejak 2008 oleh tiga kelompok. Kini telah berkembang menjadi 13 kelompok dengan jumlah petani mencapai 350 orang. Mereka tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Al Barokah yang berlokasi di Lombok Timur, Kecamatan Wonosari, dan Taal di Kecamatan Tapen, Kabupaten Bondowoso.
Awal Januari lalu menjadi awal yang baik bagi mereka. Tahun ini beras organik yang mereka produksi sudah dipesan pembeli dari Jepang 14 ton per bulan, dan Kanada 10 ton per bulan. Tinggal menunggu sertifikat organik internasional BIOCert turun, beras pun bisa diekspor.
Ekspor itu akan menjadi yang pertama bagi petani setelah menempuh jalan panjang membudidayakan organik. Delapan tahun mereka jatuh bangun merintis pertanian tersebut.
Mulyono, Ketua Gabungan Kelompok Tani Al Barokah yang merintis usaha padi organik di wilayah itu, mengatakan, kelangkaan pupuk menjadi awal titik balik mereka beralih ke organik. "Pada tahun 2008, pupuk urea di Bondowoso susah didapatkan. Kalaupun ada, jumlahnya tidak seberapa. Pada saat itulah kami digandeng Pemkab Bondowoso untuk menggarap pertanian organik. Kebetulan lahan sawah saya mendukung untuk pertanian organik. Persawahannya dekat dengan sumber air, limbah rumah tangga pun terpisah jauh dengan sawah. Kami, para petani, pun setuju memulai pertanian organik," cerita Mulyono.
Pertanian organik rintisan pemkab saat itu hanya diikuti 35 orang. Mereka diikutkan dalam kelas sekolah lapang pertanian organik yang diadakan Dinas Pertanian Bondowoso.
Diakui petani, pada awal menangani pertanian organik mereka kerepotan. Mereka harus mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik yang diolah sendiri. Saat memupuk padi, petani harus bolak-balik mengangkut kotoran sapi berton-ton, mengolahnya, dan menaburkan ke lahan.
Saat panen, hasil yang diperoleh anjlok dari hasil panen sebelumnya. Mulyono ingat betul, ia hanya mendapatkan 2 ton gabah kering panen per hektar, atau turun 4 ton dibandingkan saat masih bertanam padi konvensional pada pertama kali panen padi organik. Padahal, kondisi ekonominya saat itu pas-pasan. Ia terpaksa hidup irit untuk bisa menyambung hidup. Pasar pertanian organik juga belum terbentuk. Tidak ada pembeli yang datang untuk membeli beras organik. Petani harus benar-benar membuka pasar yang dibantu pemkab.
Kondisi baru membaik pada 2013. Kesuburan lahan meningkat dan membuat petani bisa panen hingga 6 ton per hektar gabah kering giling. Petani sudah biasa dengan pola pemupukan organik. Bank Indonesia turut terjun membantu petani.
Kini, setelah delapan tahun, luas lahan organik rintisan pemkab mencapai 128 hektar. Keseluruhannya mendapatkan sertifikasi organik nasional. Sebanyak 68 hektar di antaranya didaftarkan dan diuji untuk bisa mendapatkan sertifikat organik standar internasional. Beras dari lahan bersertifikat internasional itulah yang direncanakan diekspor memenuhi permintaan pasar ke sejumlah negara.
Merdeka
Keuntungan menjadi petani organik terus dinikmati. Padi yang dipanen berkisar 6-8 ton gabah kering giling per hektar. Petugas Penyuluh Pertanian Organik Lombok Kulon Kurniati mengatakan, hamparan sawah petani lebih aman dari serangan wereng. Pada 2011 saat serangan wereng mengganas, padi organik nyaris tak tersentuh, padahal wereng sudah menyerang kawasan padi di dekat persawahan di sekitar tempat itu. "Padi organik punya ketahanan yang lebih kuat karena itu tak mudah terserang hama," katanya.
Harga pun bisa diadu. Harga beras organik Pandan Wangi, misalnya, mencapai Rp 17.500 per kg, beras merah Rp 20.000 per kg, adapun beras hitam mencapai Rp. 22.000 per kg. Selisihnya Rp 5.000-6.000 per kg dari beras biasa. Harga ekspor bahkan lebih tinggi Rp 2.000-Rp 3.000 per kg.
Tingkat kesuburan tanah pun meningkat. Menurut Kurniati, dulu sebelum diolah organik, jumlah unsur hara di lahan itu hanya 2 persen. Kini kesuburan tanah menjadi 5 persen. Yang lebih penting lagi adalah petani tak lagi bergantung pupuk kimia dan pestisida. Mereka benar-benar merdeka. Para petani mengolah sendiri pupuk organik berapa pun yang mereka mampu.
Bupati Bondowoso Amin Said Husni mengatakan, pemkab memang ingin menjadikan Bondowoso sebagai daerah pemasok tanaman organik. Ke depan tak hanya beras yang ditumbuhkan organik, tetapi juga jahe, kunir, serta sayuran.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Bondowoso Karna Suswandi mengatakan, Pemkab Bondowoso tahun ini menggelontorkan dana Rp 30 miliar untuk Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan. Sekitar Rp 2 miliar di antaranya untuk pertanian organik.
Tahun ini, pemkab memulai gerakan pertanian organik di setiap desa. Pertanian organik itu tak hanya sebatas padi, tapi juga pepaya, jahe, dan hasil pertanian lain. "Balai Penyuluhan kami gerakkan untuk membina petani. Kami harap tiga tahun lagi hasil pertanian organik bisa dirasakan manfaatnya oleh petani," kata Karna. (Siwi Yunita)