logo Kompas.id
EkonomiKinerja Belum Optimal
Iklan

Kinerja Belum Optimal

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi 2016 memutus tren pelambatan pertumbuhan sejak 2011. Namun, kemampuan perekonomian Indonesia untuk tumbuh masih terbatas akibat kinerja sektor industri, pertanian, dan pajak yang belum optimal. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia membukukan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tertinggi pada 2011, yakni 6,17 persen. Hal ini lebih banyak disebabkan faktor eksternal berupa kenaikan harga komoditas. Namun, seiring harga komoditas yang anjlok pasca 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat. Dalam 10 tahun terakhir, titik nadir pertumbuhan PDB terjadi pada 2015, yakni 4,88 persen. Pada 2014, perekonomian tumbuh 5,01 persen. Pada 2016, pertumbuhan ekonomi sedikit membaik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diumumkan Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Senin (6/2), pertumbuhan ekonomi 2016 sebesar 5,02 persen. Nilai kegiatan ekonomi secara agregat mencapai Rp 12.407 triliun. Dari aspek lapangan usaha, pertumbuhan tertinggi dibukukan sektor yang distribusinya relatif kecil terhadap PDB. Jasa keuangan dan asuransi mencatatkan pertumbuhan tertinggi, yakni 8,9 persen, padahal distribusinya terhadap PDB hanya 4,2 persen. Sektor informasi dan komunikasi yang distribusinya terhadap PDB hanya 3,62 persen, tumbuh 8,9 persen. Sektor dengan distribusi terbesar terhadap PDB, yakni industri dan pertanian, justru tumbuh terbatas. Sektor industri yang distribusinya terhadap PDB mencapai 20,51 persen, hanya tumbuh 4,29 persen. Adapun pertanian, dengan distribusi terhadap PDB sebesar 13,45 persen, hanya tumbuh 3,25 persen. Industri dan pertanian adalah sektor yang pertumbuhannya di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhannya konsisten melambat. Secara berturut-turut, pertumbuhan sektor industri pada 2014-2016 adalah 4,64 persen, 4,33 persen, dan 4,29 persen. Pada periode yang sama, pertanian tumbuh 4,24 persen, 3,77 persen, dan 3,25 persen. Dari aspek pengeluaran, konsumsi pemerintah tumbuh negatif 0,15 persen. Hal ini disebabkan kebijakan pemotongan belanja negara di empat bulan terakhir pada 2016, sebagai konsekuensi atas penerimaan pajak yang jauh di bawah target. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi basis pertumbuhan ekonomi. Dengan porsi 56,5 persen, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,01 persen. Adapun investasi dengan distribusi sebesar 32,57 persen, tumbuh 4,48 persen. Ekspor dan impor masih tumbuh negatif. TimpangKepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Revrisond Baswir berpendapat, struktur PDB berikut pertumbuhan masing-masing sektor tersebut menggambarkan basis ekonomi Indonesia telanjur timpang. Sektor yang tumbuh cepat dan tinggi adalah sektor yang permintaannya didominasi kalangan menengah-atas. Hal ini tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Sementara, sektor yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia menggantungkan hidup, tumbuh terbatas dan melambat. Padahal, sektor ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. "Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah regulasi. Bagaimana caranya, misalnya, agar pasar tidak bergerak liar, tetapi berorientasi membangun ekonomi yang berkeadilan. Banyak hal yang harus diatur. Semuanya harus komprehensif agar ada gerak nasional untuk menjaga agar ketimpangan dan kemiskinan Indonesia makin berkurang dan kesejahteraan bisa lebih merata," kata Revrisond. Jika saat ini pemerintah fokus pada kebijakan pemerataan, tambah Revrisond, maka hal itu tidak bisa dikerjakan tanpa reformasi struktural pada sektor industri dan pertanian. Termasuk juga dalam hal pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. "Jadi, regulasinya harus memberi insentif untuk investasi swasta di industri dan pertanian yang padat karya. Yang terjadi selama ini, pemerintah gagal mengaitkan upaya meregulasi pasar agar mampu menciptakan keadilan," kata Revrisond. Tidak maksimalDarussalam dari Danny Darussalam Tax Center menyatakan, rasio pajak terhadap PDB selama 10 tahun terakhir stagnan, yakni sekitar 11 persen. Rasio ini tergolong kecil, sehingga sumber utama untuk membiayai APBN pun menjadi tidak maksimal. Salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi rasio pajak terhadap PDB, menurut Darussalam, adalah kemampuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menggali potensi pajak, yang belum maksimal. Selama ini, DJP baru mampu menggali 42-47 persen dari total potensi pajak. Dengan kata lain, 53-58 persen potensi pajak belum tergali, atau masih bocor.Adapun kebocoran potensi pajak meliputi tiga lubang. Pertama, kebocoran akibat perekonomian bawah tanah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi tidak linier dengan pertumbuhan pajak. Kedua, bocor di dasar pengenaan pajak. Hal ini terjadi melalui beragam modus penghindaran pajak dalam konteks globalisasi. Ketiga, bocor melalui pengemplangan pajak. "Jadi, pemerintah sebaiknya fokus menggali potensi pajak yang selama ini masih bocor," kata Darussalam. (LAS)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000