logo Kompas.id
EkonomiPembangunan Infrastruktur...
Iklan

Pembangunan Infrastruktur Harus Lebih Cepat

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sebaiknya memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas di dalam negeri sebelum mengimpor gas. Impor juga bisa berpengaruh terhadap pengembangan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Diperlukan dana sekitar Rp 900 triliun untuk membangun infrastruktur gas di Indonesia sampai tahun 2030. Pengajar di Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, infrastruktur gas bumi sebaiknya disiapkan secara matang terlebih dahulu. Karena itu, penyerapan gas dalam negeri lebih dioptimalkan. Setiap tahun, sebagian gas tak terserap oleh pasar dalam negeri. "Lebih baik memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan serapan gas dalam negeri sebelum keran impor gas benar-benar dibuka," ujar Pri Agung, Selasa (14/2), di Jakarta.Pri Agung juga berpendapat, dibukanya keran impor gas bisa membuat industri hulu migas dalam negeri lesu. Industri hulu migas semakin sulit berkembang apabila harus berkompetisi dengan gas impor dalam jangka pendek. Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Harry Poernomo, tak mempersoalkan kebijakan pemerintah terkait impor gas. Menurut dia, impor gas bukanlah sesuatu hal yang dilarang. Ia menilai, kebijakan impor gas tak jauh berbeda dengan impor minyak mentah atau bahan bakar minyak."Kalau memang dibutuhkan, tidak ada yang salah dengan impor. Kalau memang pasokan dalam negeri kurang, apa salahnya mengimpor? Ini, kan, tidak jauh beda dengan impor beras atau bawang," ujar Harry.Idealnya, menurut Harry, Indonesia bisa mencukupi kebutuhan gas dari sumber daya yang ada di dalam negeri. Namun, jika memang pengembangannya tidak ekonomis atau masih lebih murah impor, pilihan impor gas tidak menjadi masalah."Lapangan gas yang tidak ekonomis dikembangkan di dalam negeri sebaiknya disimpan saja untuk warisan anak-cucu kita nanti. Siapa tahu di masa mendatang mereka punya teknologi yang lebih efisien untuk mengelola lapangan gas tersebut. Jadi, pilihan impor gas itu tak menjadi masalah," kata Haryy.Baru tiga sektorBeberapa waktu lalu, pemerintah mewacanakan pembukaan keran impor gas oleh industri secara langsung. Wacana itu bersamaan dengan lambannya realisasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres tersebut mengatur sejumlah kelompok industri yang berhak mendapat penurunan harga gas menjadi sekitar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit(MMBTU). Dari tujuh sektor, baru tiga sektor yang sudah menikmati penurunan harga gas, yaitu pupuk, baja, dan petrokimia. Direktur Gas PT Pertamina (Persero) Yenni Andayani, dalam acara Indonesia Gas Conference and Exhibition 2017 pekan lalu di Jakarta, mengatakan, perlu investasi sekitar Rp 900 triliun untuk membangun infrastruktur gas di Indonesia sampai tahun 2030. Infrastruktur tersebut antara lain berupa jaringan pipa gas dan unit regasifikasi dan penyimpanan terapung (FSRU). "Kebutuhan gas dalam negeri tumbuh 4-5 persen per tahun. Selain itu, gas bumi akan memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia mendatang, terutama untuk kebutuhan pembangkit, di mana dalam program 35.000 MW, pembangkit berbahan bakar gas sebanyak 14.000 MW," kata Yenni. (APO)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000