logo Kompas.id
EkonomiPerusahaan Induk Kuat
Iklan

Perusahaan Induk Kuat

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan perusahaan induk tambang disarankan untuk dipercepat sehingga memberikan manfaat yang lebih besar dalam divestasi saham PT Freeport Indonesia. Sebab, dalam hal pembiayaan, perusahaan induk lebih kuat secara finansial ketimbang perusahaan swasta nasional. "Sebenarnya agak terlambat (rencana pembentukan perusahaan induk) itu karena divestasi sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu, tetapi tak pernah terealisasi. Ini langkah yang tepat. Kalau tertunda lagi, manfaat yang akan didapat semakin sedikit seiring segera selesainya operasi Freeport di Papua," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha di sela-sela rapat Komisi VII di DPR, Jakarta, Kamis (23/3).Menurut Satya, dengan bantuan Kementerian Keuangan, perusahaan induk pertambangan lebih mudah memperoleh pinjaman pihak ketiga untuk pembiayaan divestasi. Ia juga meyakini, kemampuan finansial perusahaan induk bakal menguat dan mampu membiayai sendiri divestasi tersebut. Tak banyak perusahaan swasta nasional yang mampu menyerap divestasi saham Freeport. "Tak ada swasta nasional yang mampu. Dulu Grup Bakrie pernah membeli, tapi kan dijual lagi. Jadi, inti divestasi bukan pada hal itu, tetapi bagaimana kepemilikan negara menjadi maksimal," ujar Satya.Mengenai kemampuan teknis, dalam berbagai kesempatan, Direktur Utama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk Tedy Badrujaman menyatakan, perusahaan nasional sanggup mengelola tambang emas dan tembaga di Timika, Papua, yang selama ini dikelola Freeport. "Antam juga punya tambang bawah tanah di Pongkor (tambang emas dan perak)," ujar Tedy.Kementerian BUMN sedang memproses pembentukan perusahaan induk (holding) pertambangan yang terdiri dari PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero). Dari keempat perusahaan itu, Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) ditunjuk sebagai perusahaan induk.Pembentukan perusahaan induk tersebut salah satunya disiapkan untuk membeli saham PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua.Payung hukum yang belum tuntas adalah peraturan pemerintah (PP) mengenai penyertaan modal kepada perseroan dalam bentuk nontunai. Sesuai PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, perusahaan tambang milik asing wajib mendivestasikan saham sedikitnya 51 persen setelah tahun ke-10 berproduksi.Saat ini, kepemilikan saham pemerintah di PT Freeport Indonesia sebesar 9,36 persen. PT Indocopper Investama pernah memiliki 9,36 persen saham, tetapi dijual kembali ke Freeport. Pemegang saham mayoritas adalah Freeport-McMoran Inc selaku perusahaan induk PT Freeport Indonesia.Freeport pernah menawarkan 10,64 persen saham kepada pemerintah pada 2015 senilai 1,7 miliar dollar AS. Penilaian itu memasukkan asumsi kontrak Freeport di Papua diperpanjang hingga 2041. Sampai saat ini, saham yang ditawarkan tersebut belum terbeli lantaran pemerintah menilai terlampau mahal.NegosiasiSecara terpisah, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, negosiasi dengan PT Freeport Indonesia masih dilakukan. Namun, sikap Pemerintah Indonesia jelas dan tegas. "Jangan kira pemerintah bisa diatur-atur. Akan tetapi, tentu kita ada kearifan. Analoginya, ini adalah rumah saya yang disewa sampai 2021. Kalau saya tidak mau (disewa) lagi, boleh dong. Freeport harus menurut (izin usaha pertambangan khusus)," kata Luhut. (APO/NAD)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000