Laporan Bank Dunia pada Maret 2017 berjudul "Indonesia Economic Quarterly: Staying the Course", mengkritik program kredit usaha rakyat. Bank Dunia menilai, subsidi bunga KUR membebani pemerintah sehingga perlu ditinjau ulang.
Subsidi bunga menyebabkan pembiayaan program itu meningkat 10 kali lipat per tahun dari skema lama. Melalui skema lama kredit usaha rakyat (KUR-2008-2014), subsidi langsung dan tidak langsung yang diberikan pemerintah rata-rata Rp 1,2 triliun per tahun. Dengan skema baru (2016-2017), subsidi bunga oleh pemerintah meningkat rata-rata menjadi Rp 12,3 triliun per tahun.
Program KUR berawal pada 2007. KUR merupakan salah satu program pinjaman bersubsidi terbesar untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di negara-negara berkembang. Pada 2015, Indonesia mendesain ulang program itu dari semula program pemberian jaminan kredit secara parsial, diubah menjadi penyediaan pinjaman melalui subsidi bunga. Pelaku UMKM mendapatkan fasilitas pinjaman dengan bunga 9 persen. Tanpa subsidi bunga pinjaman bisa sebesar 13-14 persen.
Bank Dunia mendapati, KUR belum optimal menyentuh masyarakat di sektor-sektor prioritas, seperti pertanian, perikanan, dan perkebunan. Debitor KUR juga ada yang berasal dari debitor kredit mikro nonsubsidi melalui mekanisme pembiayaan kembali. KUR juga menyulitkan perbankan bukan penyalur KUR untuk bersaing di sektor penyaluran kredit.
Karena itu, Bank Dunia meminta Indonesia meninjau kembali pemanfaatan pinjaman bersubsidi untuk mendukung UMKM mengingat biayanya tinggi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, penyaluran KUR di sektor prioritas masih rendah. Sepanjang tahun lalu, KUR banyak tersalurkan ke sektor perdagangan dan jasa, yaitu sebesar 66,8 persen. Sementara itu, pada akhir tahun lalu, Kementerian Koordinator Perekonomian menyebutkan pembiayaan petani untuk memproduksi pangan juga belum optimal.
Pada 2016, pemerintah menargetkan menyalurkan KUR Rp 100 triliun. Hingga akhir tahun, realisasinya Rp 91,99 triliun. Alokasi subsidi bunga kredit pada tahun itu sebesar Rp 10,5 triliun atau terserap sekitar 35 persen saja sehingga tersisa Rp 6,7 triliun. Di samping tidak banyak terserap ke sektor prioritas, pemanfaatan KUR di sektor mikro dan menengah juga kurang optimal.
KUR sebetulnya merupakan program bagus untuk mengembangkan ekonomi inklusif. Hal itu perlu ditopang dengan penyaluran yang tepat sasaran sesuai skala prioritas. OJK bersama perbankan penyalur KUR sedang menggodok model penyaluran ke sektor-sektor prioritas, seperti pertanian, pariwisata, dan perikanan. Diharapkan, skema itu bisa segera terealisasi sehingga penyaluran KUR optimal. (HENDRIYO WIDI)