Kue kering seperti nastar, putri salju, dan kastengel identik dengan sajian istimewa pada hari raya, seperti Lebaran. Namun, di tangan Diah Arfianti (38), makanan musiman tersebut bisa dinikmati sepanjang tahun tanpa harus menunggu Lebaran tiba. Setiap hari, laman Facebook miliknya tidak pernah sepi dari unggahan pengantaran kue kering termasuk dengan pembelinya.
Di rumah berukuran 4 meter x 8 meter di Jalan Ketandan Baru Gang II, Surabaya, Jawa Timur, yang hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor, Diah memulai usahanya sejak 2011. Bermodalkan uang hasil menggadaikan sertifikat rumah suaminya, Mochammad Rofik (47), mereka merintis bisnis kue kering dengan merek Diah Cookies. Kue kering itu menyabet gelar juara Industri Rumahan Pahlawan Ekonomi 2016.
Semula, Diah sempat ragu menjual kue kering di luar perayaan Lebaran. Namun, dia tetap mencoba karena tidak punya pilihan lain karena suaminya-yang menjadi tulang punggung keluarga-tidak lagi bekerja. Perusahaan tempat suaminya bekerja bangkrut.
Kerja keras dan kreativitas Diah kini membuahkan hasil. Tak kurang dari 20 stoples kue kering laku setiap hari. Omzetnya per bulan mencapai jutaan rupiah yang bisa melonjak menjelang dan saat Lebaran.
"Saya berusaha mengubah citra kue kering yang biasanya hanya laku saat Lebaran. Ngapain harus nunggu lama sampai Lebaran kalau ingin menikmati kue kering," kata Diah di Surabaya, beberapa waktu lalu.
Alumnus Sekolah Menengah Kejuruan Pariwisata Satya Widya, Surabaya, bidang perhotelan tersebut menggunakan media sosial Facebook untuk memasarkan produknya. Diah mengikuti pelatihan pahlawan ekonomi dari Pemerintah Kota Surabaya untuk mengembangkan usaha. Diah belajar banyak hal, mulai dari pengemasan, pemasaran, hingga pembuatan citra dan merek kue kering buatannya.
"Pemasaran menjadi lebih tepat sasaran karena saya belajar mengenai segmentasi jualan melalui media sosial. Setiap kue laku, saya mengunggah foto ketika cash on delivery (COD) dan komentar pembeli terhadap kue Diah Cookies. Setiap laku, saya unggah fotonya di Facebook untuk membangun citra bahwa kue kering saya laku setiap hari," tuturnya.
Dikirim sendiri
Diah tak menggunakan jasa kurir. Ia mengirim sendiri kue pesanan konsumen, diantar suaminya dengan mengendarai sepeda motor. Setiap pengiriman dikenai biaya tambahan Rp 15.000-Rp 20.000. Sepanjang cuaca bersahabat atau tidak hujan, Diah dan Rofik siap mengantar pesanan sejak pukul 05.00 hingga 24.00.
"Kalau menggunakan jasa kurir, tidak bisa memberikan pelayanan yang cepat karena terkendala jam kerja. Padahal, Diah Cookies mengutamakan kecepatan untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Minimal membeli dua stoples bisa dikirim saat itu juga asalkan stoknya ada," kata ibu tiga anak tersebut.
Pada hari-hari biasa, Diah-yang dibantu empat karyawan-bisa memproduksi 200 stoples. Namun, tiga bulan menjelang Lebaran seperti saat ini, dia menambah pegawai menjadi 20 orang. Sebab, ia harus memenuhi target penjualan 20.000 stoples, dengan harga Rp 60.000-Rp 80.000 per stoples.
"Tahun lalu, omzet saat Lebaran mencapai Rp 900 juta. Tahun ini targetnya Rp 1,2 miliar. Itu pun masih harus menolak pesanan karena keterbatasan produksi," ujarnya.
Pada awal merintis usaha kue kering, Diah sempat ragu menjual kue dengan harga lebih dari Rp 60.000. Sebab, kue kering yang biasanya beredar di pasaran harganya berkisar Rp 30.000 per stoples. Namun, dia berusaha memberikan rasa yang konsisten dan kemasan yang menarik agar kue bisa dijual dengan harga dua kali lipat dari harga di pasaran.
Pada dua tahun pertama menjalani usahanya, Diah hanya menjual kue kering dengan stoples kaca biasa tanpa merek. Saat itu, dia hanya memikirkan bisa laku dengan harga yang murah. Namun, empat tahun terakhir, Diah mengemas wadah kue keringnya dengan tampilan menarik dan bisa bertahan hingga enam bulan.
Saat ini, kue buatannya sudah terjual di sejumlah daerah, seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Bali. Kadang kala, turis asing membeli Diah Cookies langsung di rumah Diah, yang kini penuh sesak dengan peralatan membuat kue.
"Saya tidak takut bersaing dengan toko kue besar karena sejatinya semua punya kemampuan yang sama untuk membuat kue yang enak," kata Diah, yang usahanya dinilai sebagai salah satu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) naik kelas di Program Pahlawan Ekonomi itu.
Selain memberikan penghasilan bagi tetangganya yang menjadi pegawai, Diah kini juga membuka kesempatan bagi pihak lain untuk menjadi penjual Diah Cookies. Pihak yang menjadi penjual atau reseller harus menyerahkan Rp 30 juta. Uang itu akan dimanfaatkan Diah untuk menambah modal awal usaha karena rumahnya-yang kecil dan tak terjangkau mobil-tidak laku digadaikan untuk menambah modal.
"Reseller penting untuk membantu menjual Diah Cookies agar saya bisa berkonsentrasi mengembangkan usaha," ucap Diah.
Kini, Diah mulai mencitrakan dan mempromosikan kue keringnya sebagai oleh-oleh khas Surabaya. "Harapan saya, produk kue kering Diah Cookies bisa mempromosikan kekayaan kuliner Surabaya," ujarnya.