logo Kompas.id
EkonomiRepatriasi Perlu Dilanjutkan
Iklan

Repatriasi Perlu Dilanjutkan

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu terus berusaha mendorong repatriasi aset dan investasi. Program pengampunan pajak terbukti gagal menjadi faktor penarik, sementara kapasitas pembiayaan dari sumber-sumber dalam negeri belum cukup memenuhi kebutuhan dana pembangunan.Dihubungi di Filipina, Guru Besar Tamu Universitas Nasional Australia Chatib Basri pada Kamis (6/4) menyatakan, program pengampunan pajak tidak bisa digunakan untuk mendorong repatriasi secara optimal karena repatriasi menyangkut kepercayaan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), realisasi repatriasi dalam pengampunan pajak adalah Rp 147 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Untuk harta di luar negeri yang sekadar dideklarasikan pun, nilainya hanya Rp 1.032 triliun.Capaian itu jauh dari potensi. Lembaga kajian McKinsey, misalnya, melaporkan, harta warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri mencapai Rp 3.250 triliun. Adapun data yang dilansir Credit Suisse Global menyebutkan, nilainya mencapai Rp 11.125 triliun. Repatriasi, menurut Chatib, tak ubahnya investasi langsung dari luar negeri (FDI). Bedanya dengan FDI adalah bahwa repatriasi merupakan investasi WNI yang selama ini disimpan di luar negeri. Dengan demikian, mengharapkan repatriasi berarti menuntut prasyarat peningkatan iklim investasi."Jadi, usaha mendorong repatriasi atau investasi harus terus dilakukan setelah pengampunan pajak dengan cara reformasi struktural, mulai dari penyederhanaan izin, perbaikan birokrasi, hingga kepastian hukum," kata Chatib.Apalagi, Chatib menekankan, repatriasi atau investasi dari luar negeri adalah keniscayaan untuk pembangunan Indonesia. Alasannya, Indonesia masih butuh suntikan dana dari luar negeri, mengingat dana yang tersedia di dalam negeri amat terbatas.Dalam kondisi tersebut, untuk tumbuh 6 persen, rasio investasi terhadap produk domestik bruto harus sekitar 38 persen, sementara tabungan domestik saat ini hanya 35 persen. Artinya, jika ekonomi dipaksa tumbuh 6 persen tanpa ada sumber pembiayaan, defisit transaksi berjalan akan menjadi 3 persen. Hal ini akan memicu modal keluar dan rupiah melemah."Kecuali jika defisit itu dibiayai oleh penanaman modal asing atau repatriasi. Karena itu, untuk tumbuh di atas 6 persen, penanaman modal asing atau repatriasi menjadi sangat penting. Cara lain adalah menaikkan produktivitas sehingga kebutuhan pembiayaan menjadi lebih kecil karena efisiensi," kata Chatib.Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, dalam keterangan pers di Jakarta, menyatakan, upaya mendorong repatriasi harus terus dilakukan walaupun program pengampunan pajak telah berakhir. Agar dapat berjalan efektif, desain kebijakan repatriasi harus bersifat lintas lembaga.Karena itu, perlu pembentukan forum khusus lintas instansi guna mendesain sekaligus melaksanakan kebijakan repatriasi dengan target dan rencana aksi yang jelas. Merujuk jurnal yang ditulis Sarianna M Lundan dari Universitas Maastricht, Belanda, dibutuhkan sedikitnya lima faktor untuk mendorong repatriasi.Kelima faktor itu mencakup perpajakan, insentif secara proaktif, tata kelola yang baik, perbandingan peluang investasi, dan depresiasi nilai tukar. Karena itu, upaya mendorong repatriasi setelah pengampunan pajak mensyaratkan kerja bersama secara sinergis, antara lain melibatkan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.Kerja bersama lintas sektoral tersebut, Eko menambahkan, krusial. Sebab, salah satu penyebab gagalnya pengampunan pajak dalam mendorong repatriasi adalah karena program tersebut sebatas dikerjakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.Kebutuhan dana Indonesia membutuhkan dana besar untuk membangun. Ini penting untuk segera memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan mengatasi ketertinggalan Indonesia di berbagai bidang, mulai dari kebutuhan dasar manusia, infrastruktur, sampai dengan kualitas sumber daya manusia. Untuk pembangunan infrastruktur, misalnya, kebutuhan selama 2015-2019 meliputi investasi senilai Rp 6.541 triliun. Ini adalah kebutuhan dana sebagai prasyarat untuk membuat Indonesia mampu naik kelas dari negara berpendapatan menengah-bawah ke negara berpendapatan menengah-atas.Dari kebutuhan dana itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) direncanakan membiayai Rp 1.555 triliun atau 24 persen dari total kebutuhan. Sisanya direncanakan dibiayai oleh badan usaha milik negara senilai Rp 312 triliun atau 5 persen, kerja sama pemerintah dan swasta senilai Rp 1.308 triliun atau 20 persen, dan pembiayaan di luar APBN senilai Rp 93 triliun atau 1 persen. Porsi terbesar dari segala kebutuhan itu adalah pinjaman dan obligasi. Nilainya diperkirakan Rp 3.272 triliun atau 50 persen.Khusus untuk porsi pembiayaan dari APBN-APBD, asumsinya adalah pertumbuhan ekonomi selama 2015-2019 rata-rata 7 persen per tahun. Sementara, kenyataannya, rata-ratanya hampir pasti di bawah 6 persen. Artinya, kapasitas APBN-APBD di bawah rencana. (LAS)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000