JAKARTA, KOMPAS — Indonesia adalah negara besar. Tidak hanya dari sisi populasi yang empat terbesar di dunia, tetapi juga ukuran ekonomi yang masuk 20 besar dunia. Alhasil, menjaga dan memanfaatkan momentum pertumbuhan menjadi keniscayaan bagi Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pekan lalu, mengatakan, Indonesia membutuhkan perekonomian dalam negeri yang makin kuat dengan pertumbuhan masyarakat berpendapatan menengah makin banyak.
Hal ini disampaikannya saat menjadi pembicara pada seminar makroekonomi bertajuk ”Kondisi Ekonomi Tahun 2017 dan Tantangannya bagi UKM”. Seminar tersebut digelar Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA).
Sri Mulyani Indrawati menuturkan, dari 190 negara di dunia, hanya sedikit negara yang bisa keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. ”Yang bisa naik menjadi high income country hanya sedikit negara, seperti Korea Selatan, Singapura, Israel, dan Taiwan,” katanya.
Menurut dia, Indonesia berupaya tidak terperangkap dalam jebakan kelas menengah. Jebakan kelas menengah antara lain muncul akibat kelemahan institusi.
”Ekonominya makin sophisticated, tetapi institusinya masih kayak zaman purba: ada nepotisme, korupsi, pilih kasih, dan tidak berbasis sistem tetapi berbasis koneksi personal,” ujarnya.
Ciri negara maju bukan keberadaan gedung-gedung tinggi, melainkan lebih kepada orang dan sistem yang mendukung masyarakat. Terkait hal tersebut, Indonesia akan terus meningkatkan perbaikan di bidang ekonomi berbasis kebijakan dan sistem yang baik.
Menurut dia, struktur manufaktur Indonesia sudah bergeser lebih banyak ke industri yang langsung berhubungan dengan masyarakat banyak, seperti industri makanan dan minuman, logam, farmasi, dan industri alat angkutan.
Ada rantai pasokan di setiap industri tersebut. Indonesia yang dinilai belum matang dalam rantai pasok domestik, regional, ataupun internasional diharapkan makin kuat memantapkan diri masuk dalam jaringan rantai pasok tersebut. ”Ini semua membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang makin baik,” kata Sri Mulyani Indrawati.
Tak urung, pendidikan, pelatihan, inovasi, dan riset menjadi penting. Pemerintah dan swasta harus bahu-membahu melakukannya.
Apalagi, arah kebijakan ekonomi dan industri Indonesia berkaitan dengan kemampuan meningkatkan keunggulan komparatif negeri ini. Dinamika zaman tak pelak mengiringi upaya tersebut.
Otomatisasi dan robotisasi—ketika peranan mesin dan robot telah menggantikan banyak sekali tenaga kerja manusia—sudah menjadi sesuatu yang nyata. Dulu hanya di pabrik, tetapi sekarang sudah sampai kepada konsumen.
Mobil tanpa sopir, walaupun masih dalam tahap percobaan, menjadi salah satu contoh. Banyak jenis lapangan kerja dalam 10-15 tahun ke depan akan hilang akibat semacam model bisnis baru yang sudah datang tersebut.
Sebuah model bisnis yang merupakan kombinasi teknologi mulai menstubstitusi sejumlah hal yang dulu dianggap selalu akan begitu-begitu saja. Semua pemangku kepentingan harus menyiapkan Indonesia memasuki zaman tersebut.
Terus berpikir ke depan. Masa lalu yang harus dilestarikan adalah nilai yang baik, nilai yang menciptakan lingkungan hubungan antarmanusia yang produktif, positif, dan konstruktif. ”Tetapi, ide, inovasi, dan investasi harus berorientasi pada yang akan terjadi masa depan,” ujarnya.
Terkait peningkatan kualitas SDM industri, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam beberapa kesempatan menuturkan, pemerintah mendorong pelatihan vokasi. Pelatihan vokasi dimaksud antara lain melalui sekolah vokasional setingkat sekolah menengah kejuruan.
Merujuk pola yang berlaku di Austria, Jerman, dan Swiss, pendidikan menengah vokasional berlangsung empat tahun dengan rincian separuh teori dan separuh praktik. Industri pun menentukan kurikulum di Jerman.
Menurut Airlangga, peserta yang lulus pendidikan vokasi tersebut pasti siap di industri. Industri di sana juga diuntungkan karena ada kontinuitas tenaga kerja.
Airlangga mengatakan, pihaknya juga menginginkan agar era industri 4.0—antara lain dicirikan pelibatan unsur digital dalam setiap rantai nilai proses manufaktur—juga mulai dikenalkan agar tenaga kerja Indonesia tidak gagap menghadapi perkembangan teknologi.