JAKARTA, KOMPAS — Pemberian izin usaha pertambangan khusus untuk PT Freeport Indonesia adalah upaya pemerintah menjaga perekonomian nasional dan kepercayaan investor. Namun, PT Freeport tetap harus memenuhi aturan yang berlaku di Indonesia, baik terkait divestasi secara bertahap, pembangunan smelter, maupun sistem pajak.
Pemerintah Indonesia akhirnya memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) berikut izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) sejak 10 Februari lalu sampai delapan bulan. Setelahnya, evaluasi rutin dilakukan setiap bulan.
”Pemerintah bukan berarti mengalah, tidak. Justru agar menjaga ekonomi nasional dan menjaga kepercayaan investor di Indonesia. Kalau investor yang begitu lama kita abaikan, bagaimana orang mau percaya Indonesia. Bahwa perlu divestasi, ya, kita bicarakanlah jangka waktunya,” tutur Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (11/4).
Keberadaan Freeport di Indonesia, menurut Kalla, setidak-tidaknya memengaruhi empat hal. Pertama, pendapatan negara melalui pembayaran pajak dan royalti. Kedua, ekonomi Papua sebagai wilayah tempat operasional dan investasi. Ketiga, ekonomi di Timika. Keempat, lapangan kerja.
Selain itu, Indonesia juga berkepentingan menjaga hubungan dengan para investor secara umum. Indonesia menginginkan adanya keterbukaan dan kepastian untuk para investor. Oleh karena itu, PT FI diberikan izin untuk beroperasi. Dengan status IUPK ini, PT FI bisa mengekspor konsentrat dengan membayar bea yang sudah ditentukan. Sejalan dengan izin sementara ini, syarat-syarat yang ditentukan serta proses yang harus dijalani tetap harus dipenuhi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan pun sebelumnya menegaskan, kendati perubahan status kontrak karya menjadi IUPK memang jalan tengah yang disepakati pemerintah dan PT FI, PT FI masih bisa kehilangan IUPK dan izin ekspor konsentrat.