JAKARTA, KOMPAS — Kesulitan memiliki rumah tinggal juga menghinggapi masyarakat berpenghasilan menengah. Kesulitan itu antara lain karena kendala pemenuhan uang muka atau DP rumah. Kesulitan pembayaran DP kerap dipicu gaya hidup yang belum memprioritaskan kepemilikan rumah tinggal sebagai kebutuhan dasar. Hal itu dipaparkan dalam hasil survei sentimen konsumen yang digelar situs properti Rumah123 di Jakarta, Rabu (3/5). Sebagaimana dikutip Kompas, Kamis (4/5), survei dilakukan terhadap 4.200 responden.
Besaran uang muka pembelian rumah rata-rata dipatok minimum 20-30 persen dari harga rumah. Adapun selebihnya, pembiayaan bisa bersumber dari tunai, tunai bertahap, dan kredit pemilikan rumah atau apartemen (KPR/KPA).
Menurut Country General Manager Rumah123 Ignatius Untung, hasil survei menunjukkan, sekitar 46 persen dari responden masih tinggal bersama orangtua, di rumah warisan. Sementara sekitar 26 persen responden mengontrak rumah.
Kecenderungan anomali terjadi pada responden berpenghasilan Rp 15 juta-Rp 20 juta per bulan. Sebab, hampir separuh dari kelompok ini masih kesulitan memiliki rumah karena tidak mampu membayar DP.
“Ini bukan soal penghasilan, melainkan soal gaya hidup. Perlu edukasi bahwa kepemilikan rumah merupakan kebutuhan dasar yang lebih dari sekadar gaya hidup,” katanya.
Ia menambahkan, fenomena kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan untuk membeli properti (potential buyer) tetapi tidak membeli properti terbagi dari tiga kelompok. Pertama, kelompok gaya hidup yang cenderung mengeluarkan uang untuk kepentingan gengsi sosial dan memuaskan diri. Kategori kedua, yakni generasi milenial yang belum memiliki rencana dan tujuan hidup pasti. Tujuan hidup kelompok tersebut ialah menjalani hidup secara simpel. Ketiga, kelompok yang berorientasi keluarga, tetapi mengutamakan standar gaya hidup keluarga yang tinggi untuk kepentingan sesaat, misalnya berlibur dan melakukan perjalanan (traveling).
Ia menambahkan, saat ini fokus bantuan pemerintah adalah untuk kepemilikan rumah tapak bersubsidi bagi masyarakat menengah bawah dengan penghasilan maksimal Rp 4 juta per bulan dan Rp 7 juta per bulan untuk kepemilikan rumah susun. Masyarakat menengah dengan penghasilan di atasnya menghadapi mekanisme pasar harga rumah. Untuk itu, pengelolaan keuangan masyarakat menengah harus disesuaikan dengan target memiliki rumah.
“Perlu edukasi bahwa harga properti mengikuti mekanisme pasar dan cenderung naik. Untuk itu, perencanaan untuk memiliki rumah harus segera dilakukan jika tidak ingin harga terus naik,” katanya.
Dari hasil survei, ada kecenderungan responden menabung selama 1-3 tahun untuk bisa membayar DP. Namun, pada saat tabungan memasuki tahun ketiga, harga properti sudah terlanjur naik tinggi. Rumah pun kian tak terjangkau.
“Harus ada kesadaran bawah orang perlu mencari properti dulu dibandingkan gaya hidup lainnya. Tanpa kesadaran itu, harga properti akan terus naik tapi tidak mampu terbeli,” katanya.
Dicontohkan, Hongkong saat ini tergolong peringkat tiga besar harga properti tertinggi dunia. Namun, 40 persen dari penduduk Hongkong tidak mampu memiliki properti. (LKT)