Inovasi Diperlukan untuk Mempercepat Pembangunan
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha perlu berinovasi agar sejalan dengan fokus pemerintah dalam membangun infrastruktur. Komunikasi antar-instansi menjadi salah satu kunci proyek infrastruktur berjalan lebih cepat."Tol yang diberikan kepada badan usaha pada 20 tahun lalu mangkrak semua. Padahal, itu layak. Kalau 20 tahun lalu layak, sekarang dengan kendaraan yang makin bertambah tol pasti layak. Maka, Waskita Karya mengakuisisi tol yang mangkrak," kata Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk M Choliq dalam Forum Diskusi Profesional "Inovasi Penyelesaian Pembangunan Infrastruktur" yang diselenggarakan Kafegama MM Universitas Gadjah Mada, Rabu (10/5), di Jakarta.Waskita Karya mengakuisisi dua ruas tol. Dengan dukungan penyertaan modal negara (PMN) Rp 3,5 triliun, Waskita Karya terus mengakuisisi ruas tol. Hingga saat ini, badan usaha milik negara itu telah memiliki 18 konsesi jalan tol dengan panjang mencapai 1.200 kilometer. Ekuitas Wijaya Karya minus Rp 300 miliar pada 2008, tetapi kini menjadi sekitar Rp 20 triliun.Dirut PT Hutama Karya (Persero) I Gusti Ngurah Putra mengatakan, dua tahun lalu, pihaknya diberi tugas pemerintah untuk menginisiasi delapan ruas jalan tol Trans-Sumatera. "Investasi delapan ruas mencapai Rp 82 triliun, sementara modal kami Rp 800 miliar. Dari Rp 82 triliun diperlukan ekuitas sekitar Rp 50 triliun," katanya.Untuk itu, kata Putra, pihaknya mengajukan PMN kepada pemerintah dan disetujui Rp 5,6 triliun. Kemudian, Hutama Karya melakukan sekuritisasi Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) S dan mendapatkan dana Rp 3 triliun. Agar Trans-Sumatera dapat segera terbangun, Badan Pengatur Jalan Tol bisa meminta badan usaha yang memiliki ruas tol di Jawa dengan rasio pengembalian minimum di atas standar BPJT sebesar 60 persen untuk ikut membangun di tol Trans- Sumatera. Dirut PT Semen Indonesia Rizkan Chandra mengatakan, meski alokasi anggaran pemerintah untuk infrastruktur telah mencapai 20 persen dari total APBN dalam tiga tahun terakhir, permintaan semen secara keseluruhan malah turun."Sektor ritel tidak bergerak. Suplai semen bertambah 37 juta ton dalam tiga tahun terakhir sehingga mengakibatkan harga terpotong 30 persen, sementara permintaan tidak naik. Industri semen di Indonesia memang sangat liberal," kata Rizkan. (NAD)