logo Kompas.id
EkonomiIndonesia Bisa Pilih Nontarif
Iklan

Indonesia Bisa Pilih Nontarif

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengikuti banyak perjanjian perdagangan bebas, termasuk dengan negara-negara yang menerapkan berbagai kebijakan nontarif. Di sisi lain, kebijakan nontarif yang diterapkan oleh Indonesia relatif masih minim."Sekarang instrumen perdagangan yang banyak dipakai negara-negara maju adalah kebijakan nontarif," kata Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Harjanto di Jakarta, Rabu (31/5). Harjanto mengatakan hal tersebut pada diskusi kelompok terfokus bertajuk "Analisis Kebijakan Hambatan Nontarif Produk Industri Berbasis Sistem Informasi Ketahanan Industri". Indonesia hanya memiliki sekitar 270 kebijakan nontarif. Sebagai perbandingan, Harjanto menuturkan, Uni Eropa memiliki sekitar 5.000 kebijakan nontarif. Hambatan perdagangan itu antara lain antidumping, antisubsidi, dan safeguard. Adapun di Amerika Serikat, ada sekitar 6.000 kebijakan nontarif. "Indonesia yang sedang gencar mengembangkan sektor industri untuk menjadi negara industri baru menginginkan industri kita lebih seimbang kondisinya," ujar Harjanto. Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Ina Primiana Syinar, mengatakan, kebijakan nontarif bisa dijadikan pertahanan bagi industri dalam negeri. Pengadaan pemerintah pun sebenarnya bisa mengendalikan impor."Menurut diskusi kelompok terfokus sebelumnya, ternyata yang ada di dalam e-katalog pun umumnya barang impor. Jadi, kita harus membantu supaya produk-produk dalam negeri bisa kuat dan masuk dalam e-katalog," kata Ina.Negosiasi menyeluruh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menuturkan, defisit perdagangan makanan jadi tahun 2016 meningkat menjadi sekitar 800 juta dollar AS dari sekitar 250 juta dollar AS pada 2015. "Kita harus punya strategi ke luar dan ke dalam," katanya. Terkait strategi ke luar, menurut dia, Indonesia harus melakukan perundingan dengan negara- negara tujuan ekspor yang memiliki tarif terlalu tinggi dan diskriminatif. Perundingan pemerintah dengan pemerintah harus segera diselesaikan agar Indonesia tak kalah di persoalan tersebut. "Rata-rata kita masih mengalami tarif yang tinggi dengan Korea, Jepang, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan Eropa, kita mengalami diskriminasi tarif sehingga kita kalah," kata Adhi. Proses negosiasi Indonesia dengan Uni Eropa sebaiknya dilakukan secara menyeluruh, jangan sepotong-sepotong. "Misalnya, negosiasi jangan cuma minyak kelapa sawit mentah, tetapi lain juga perlu dirundingkan secara holistik," katanya. Terkait stategi ke dalam, Adhi mengatakan, Indonesia ingin melindungi konsumen menyangkut keamanan pangan. Salah satu usulan adalah agar importir nonprodusen pangan olahan jadi harus menaruh deposit tanggung jawab keamanan pangan."Hal ini karena banyak importir mengimpor, begitu di pasar, lalu ganti PT ganti CV. Jadi, siapa yang bertanggung jawab soal keamanan pangan? Begitu dicabut, sudah hilang jejak tetapi produk masih beredar di pasar," katanya. Usulan lain adalah pengetatan penyaringan impor produk jadi dengan pembedaan jalur pemasukan di pelabuhan. "Kalau misalnya kita punya 10 jalur, 3 jalur untuk produk jadi dan 7 jalur untuk bahan baku. Ini demi mendorong industri dalam negeri," ujar Adhi.Pengetatan penyaringan produk jadi penting karena langsung ke konsumen. Sementara bahan baku masih melalui proses panjang di pengawasan dan industri pengolahan. Regulasi di dalam negeri juga harus mendukung industri. (CAS)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000