Menuai Rezeki dari Pohon Enau
Asap tipis menguar di halaman rumah Nasir. Bersamaan dengan itu, aroma wangi lembut buah enau (Arenga pinnata) yang tengah direbus dalam wajan besar pun menyebar. Buah-buah itu siap dikupas untuk diambil dagingnya.
Dari wajan, hasil rebusan diangkat dan langsung dipindahkan ke teras rumah. Sejumlah perempuan dan anak-anaknya sudah menunggu. Tangan mereka cekatan mencungkil kolang-kaling dari kulit enau. Tak butuh waktu lama. Ratusan kolang-kaling berwarna bening keputihan segera mengisi mangkuk-mangkuk besar di lantai teras.
Ngabuburit selama bulan Ramadhan dimanfaatkan para ibu di Desa Baru, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, dengan mengolah enau. Dari buahnya, didapatkan kolang-kaling. Sedangkan air (nira) yang menetes dari tandan bunga jantan pohon enau bisa diolah menjadi gula aren.
Bagi mereka, pohon enau adalah sumber rezeki pada bulan Ramadhan. Kolang-kaling dan gula aren sangat laris di pasar. Satu kilogram kolang-kaling dijual Rp 8.000, sedangkan gula aren berharga Rp 10.000 per bungkus.
Tradisi memanen kolang-kaling, menurut Asiah (85), rutin dilakukan hanya selama Ramadhan. Di hari-hari biasa, buah enau dibiarkan begitu saja hingga membusuk di pohonnya.
"Kalau hari biasa, tidak ada yang beli. Hanya pada bulan Ramadhan kolang-kaling laris dibeli," ujar Asiah.
Butuh ketelatenan untuk mengolah kolang-kaling. Dalam buah sebesar bola kasti itu, hanya ada tiga butir kolang-kaling. Atau dari 1 kilogram buah, daging kolang-kaling hanya berkisar 2 ons.
Setiap hari, sekitar 1 kuintal kolang-kaling diproduksi warga Desa Baru untuk memenuhi kebutuhan di sejumlah pasar tradisional Kota Jambi.
Manfaat enau
Tak banyak orang tahu manfaat pohon enau. Selain menghasilkan kolang-kaling dan gula aren, sabut yang menyelimuti pohon bisa juga dimanfaatkan menjadi sapu ijuk. Sedangkan ruas tulang daunnya bisa diambil untuk membuat sapu lidi. Air sadapannya kerap dimanfaatkan untuk memperkaya rasa pada masakan. Adapun bagian dalam batang pohon menghasilkan sagu.
Di masa lalu, kata Nasir, salah satu produsen buah kolang-kaling, sagu dari pohon enau diolah menjadi berbagai menu takjil dan masakan berbuka puasa. Makanan dari sagu enau dianggap istimewa karena mengeluarkan aroma wangi.
Namun, seiring maraknya pembukaan kebun sawit dan karet, banyak pohon enau ditebang. Perlahan, budaya mengolah makanan dari sagu enau kian meredup. Kini, hampir tidak bisa kita temui warga yang mengolah sagu dari pohon enau.
"Kebanyakan warga lebih memilih menyadap karet, hasilnya lebih menguntungkan dari pada mengolah sagu enau," ujar Nasir.
Dengan demikian, hanya air nira enau yang sepanjang waktu dimanfaatkan untuk bahan baku gula merah.
Mulai diminati
Menurut Nasir, belakangan mulai tumbuh kembali keinginan untuk mengolah berbagai jenis kerajinan dan penganan enau pada sejumlah anak muda. Semangat itu muncul seiring keinginan mengembangkan Desa Baru sebagai desa wisata.
Desa Baru dikenal sebagai penyangga kawasan wisata peninggalan agama Buddha, Situs Muaro Jambi. Dalam setahun terakhir, sejumlah warga, termasuk Nasir, mulai mengelola rumahnya sebagai tempat singgah dan menginap bagi wisatawan.
Warga juga memanfaatkan sejumlah sungai dan kawasan hutan rakyat setempat sebagai pelengkap kunjungan wisata. Selain itu, menghidupkan kembali kekayaan kuliner dan kerajinan lokal.
Jika itu berhasil mereka kembangkan, pohon enau tidak lagi hanya menjadi sumber rezeki pada bulan Ramadhan. Manfaatnya yang sangat besar bisa menjadi sumber penghidupan warga sepanjang waktu.
(Irma Tambunan)