logo Kompas.id
EkonomiInvestasi Hadapi Tantangan...
Iklan

Investasi Hadapi Tantangan Likuiditas

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Investasi sudah mulai menggeliat di triwulan I-2017. Namun, tantangan lebih besar justru muncul di semester II-2017. Tantangan tersebut datang dari kombinasi antara volatilitas keuangan global dan terbatasnya likuiditas domestik. "Volatilitas keuangan global dikombinasi dengan terbatasnya likuiditas domestik ini pada akhirnya menekan investasi, terutama investasi swasta," kata Yanuar Rizki dari perusahaan riset dan konsultan Bejana Investidata Globalindo, di Jakarta, Jumat (23/6). Volatilitas keuangan global yang dimaksud dipicu kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 poin ke kisaran target 1-1,25 persen. Kenaikan itu telah dua kali dilakukan The Fed dalam kurun waktu tiga bulan ini. The Fed memproyeksikan kenaikan satu kali lagi tahun ini."Kalau kenaikan suku bunga di AS saja, pengaruhnya di peningkatan imbal hasil SUN (Surat Utang Negara) tidak akan terlalu besar. Persoalannya adalah jika sampai harga jual SUN di pasar sekunder anjlok ketimbang harga belinya, sampai 20 persen, misalnya, maka imbal hasil SUN akan meroket lebih tinggi," tutur Yanuar.Kondisi tersebut, menurut Yanuar, perlu diantisipasi sebab faktanya likuiditas terbatas. Sudah begitu, rencana utang pemerintah pada paruh kedua tahun ini terbilang besar, sekitar Rp 344 triliun. Pada saat yang sama, badan usaha milik negara (BUMN) juga berlomba menerbitkan obligasi untuk pembiayaan berbagai proyek. "Dengan kondisi likuiditas domestik yang terbatas, adalah swasta yang akhirnya akan kalah. Investor pasti memilih membeli SUN atau obligasi BUMN," ujar Yanuar. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menyatakan, likuiditas memang sangat terbatas, sementara kebutuhan pemerintah dan BUMN untuk menarik utang besar, maka likuiditas semakin tipis dan bunga kian melambung. "Sekarang stagnan semua. Di lapangan itu, likuiditas kering. Bunga bank turun, tetapi relatif lamban. Ini harus dilihat lagi. Pandangan saya, BI dan pemerintah malah menyedot likuiditas. Harusnya jangan dibikin kontraksi terus, tetapi diberi pelonggaran," tutur Hariyadi. Daya beliPosisi menunggu yang dilakukan pengusaha, lanjut Hariyadi, juga dipengaruhi faktor daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Transaksi retail sebagai indikatornya mulai naik, tetapi belum signifikan. Demikian pula ekspor yang baru menggeliat sejak triwulan IV-2016. Tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen. Kementerian Keuangan memproyeksikan realisasinya adalah 5,2 persen.Pada triwulan I-2017, ekonomi tumbuh 5,02 persen. Angka ini merupakan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada dua tahun sebelumnya, yakni 4,82 persen pada 2015 dan 4,92 persen pada 2016.Konsumsi rumah tangga yang porsinya mencapai 56,94 persen terhadap PDB, alias paling dominan, tumbuh sedikit melambat, dari 4,97 persen pada triwulan I-2016 menjadi 4,93 persen pada triwulan I-2017. Demikian pula dengan konsumsi pemerintah yang porsinya 6,58 persen dari total PDB, dari 3,43 persen pada triwulan I-2016 menjadi 2,71 persen pada triwulan I-2017. Kabar baik datang dari investasi dan ekspor. Investasi tumbuh 4,81 persen atau lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,67 persen. Ekspor tumbuh signifikan, dari -3,29 persen pada triwulan I-2016 menjadi 8,04 persen pada triwulan I-2017. (LAS)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000