Andai Pemda Berlomba soal Ekonomi
Siapa suruh datang Jakarta? Ini istilah lama yang terus berdengung sampai sekarang sehubungan dengan migrasi penduduk ke Jakarta. Seolah-olah warga salah semata datang ke Jakarta yang memang semakin padat dan tak keruan.
Sudah lama Jakarta Raya diberitakan sebagai salah satu kota mega di dunia yang akan mengalami beban berat. Dikatakan demikian karena penduduk terus bertambah. Dan, ini tidak diiringi pertambahan sarana dengan segala alasan dan penyebabnya. Maka, ada kemacetan yang luar biasa. Ada penggunaan jalur hijau menjadi permukiman, baik kumuh maupun formal modern.
Jakarta makin asyik dengan kesemrawutannya. Namun, ini tidak menjerakan banyak orang datang dan mencoba mencari penghidupan. Apakah karena daerah tidak berkembang sehingga warganya terus hijrah ke Jakarta?
Tak berkembang
Tampaknya secara hipotesis memang demikian walau secara fisik kota-kota di daerah juga terus berkembang dan warna kemacetan juga terasa kuat. Jakarta Raya bukan satu-satunya yang mengalami nasib serupa dengan ledakan penduduk dan beban sosialnya.
Dublin di Irlandia, Mumbai di India, Manila di Filipina, dan banyak kota besar di negara berkembang mengalami masalah lebih kurang serupa. Di balik hiruk-pikuk berita lain di dunia dari waktu ke waktu sarat seruan soal beban kota-kota mega dunia.
Ada urbanisasi yang tidak masuk berita utama, tetapi memberi efek dahsyat secara sosial hingga politis. Apa pun ledekan atau sindiran halus pada imigran hal itu tidak akan pernah mempan menghentikan arus urbanisasi.
Perilaku mobilisasi warga juga ditentukan, salah satunya faktor kesempatan ekonomi. Dan, ini bukan khas Jakarta semata, melainkan tekanan di kota-kota mega di sisi lain tetap menguat.
Oleh karena itu, terus muncul seruan tentang perlunya pembangunan teritorial atau daerah. Di Indonesia hal ini berarti pembangunan di level provinsi hingga pemda kota atau kabupaten. Setelah terbitnya buku The World Is Flat” karya Thomas L Friedman, seruan pembangunan regional makin tinggi.
Buku ini antara lain bertutur tentang produksi nonstop di seantero dunia. Saat sebuah belahan dunia tidur, ada kesibukan di belahan lain. Ini semua demi produksi untuk kebutuhan global. Kegiatan ekonomi tidak lagi bertumpuk di satu belahan dunia, tetapi sudah menyebar ke seluruh pelosok.
Ke depan, kegiatan seperti ini semakin meningkat dan banyak lokasi atau lahan di daerah yang harus menjadi sentra produksi karena ada perkembangan dan kebutuhan lokasi baru investasi. Ini sesuai dengan upaya mengatasi urbanisasi, terutama yang telah menyebabkan ledakan sosial di kota-kota mega.
Hanya saja, kegiatan ekonomi tidak otomatis tercipta di daerah-daerah. Muncul pertanyaan bagaimana membangun daerah? Salah satu penekanan adalah penting untuk memahami potensi lokal atau daerah-daerah.
Muatan lokal
Maka secara umum teori ekonomi pembangunan regional menekankan bahwa pembangunan dan keuntungan komparatif memiliki muatan lokal yang kuat. Sebuah negara bisa maju dan relatif merata dengan menekankan pembangunan yang mengenali muatan-muatan lokal ini. Ada unsur lokal yang sangat menentukan dalam pembangunan dan patut diperhitungkan.
Oleh karena itu, strategi pembangunan daerah apa yang hendak dijalankan? ”Pada dasarnya strategi yang pas adalah menyusun kebijakan berimbang, yakni dibangun atas kekuatan-kekuatan lokal sekaligus mengeliminasi kelemahan lokal. Inilah salah satu cara mendongkrak aktivitas perekonomian di kawasan sehingga berkesinambungan”. Kutipan ini muncul dalam tulisan ”Regional Economic Development: A Review” pada 2012 oleh Andrea Ascani, Riccardo Crescenzi, Simona Lammarino dari London School of Economics and Political Science.
Penekanan soal pembangunan daerah yang berkesinambungan ini penting agar program pembangunan daerah tidak terhenti pada sebatas jargon. Atau, agar seruan soal pembangunan daerah tidak memudar seiring dengan perjalanan waktu.
Daerah relatif dikenali dengan lebih baik oleh tokoh lokal, dalam hal ini pemimpin lokal yang punya visi kuat. Oleh dari itu, muncul teori pembangunan yang menekankan desentralisasi dan otonomi pemerintahan. Ini tidak berarti menghilangkan keberadaan pusat, yang justru harus menjadi katalisator untuk sinergi daerah-daerah.
Isu tentang desentralisasi ini mengemuka setelah Revolusi Perancis. Berikutnya banyak pakar mendukung desentralisasi. Alvin Toffler, pakar futurolog AS, mengatakan, ”Model perencanaan industrial terpusat akan digantikan dengan model desentralisasi yang lebih terbuka, demokratis.” Ini disebutkan dalam buku Future Shock, 1987.
Meski demikian, desentralisasi tidak otomatis memberikan hasil maksimal. Dalam tulisan berjudul ”Is Decentralization Good for Development” oleh Jean-Paul Faguet dan Caroline Poschl, University Oxford Press, 2015, disebutkan desentralisasi tidak merupakan sebuah masalah.
Hanya saja pelaksakaannya yang sering tidak sesuai harapan. Salah satu masalah dalam desentralisasi seperti dituliskan dalam artikel itu adalah profil pemimpin daerah yang egois, antara lain ingin kekuasaan semata.
Ada banyak contoh kasus desentralisasi yang sukses. Akan tetapi, banyak juga desentralisasi yang disebut sebagai gagal. Indonesia tidak ketinggalan dengan mendorong otonomi daerah. Hanya saja, otonomi dan daerah tidak sekadar menggeser porsi pengambilan keputusan semata ke tingkat daerah. Ada tali-temalinya dengan aspek politik, juga sosial.
Di dalamnya termasuk kemampuan akademik daerah-daerah untuk mengenali daerahnya. Dan, salah satu tujuan inti desentralisasi adalah pengembangan kue ekonomi daerah-daerah. Karena itu, andaikan pemda-pemda punya visa ekonomi yang kuat seperti diperlihatkan pemda-pemda di China.
Jadi, jangan salahkan warga semata jika mereka datang ke Ibu Kota. Urailah kedalaman dan kualitas implementasi desentralisasi yang justru bertujuan mengembangkan daerah itu sendiri. Pemerintah pusat yang saksama tidak akan bisa lepas dari visi tentang desentralisasi. Ini karena kemajuan negara yang relatif merata adalah juga resultante dari kemajuan daerah-daerah.