logo Kompas.id
EkonomiMengatasi Ketertinggalan
Iklan

Mengatasi Ketertinggalan

Oleh
· 3 menit baca

Indonesia dan negara-negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan ternyata tidak sendirian dalam membangun infrastruktur. Negara-negara maju juga terus membangun infrastruktur. Pertanyaannya, apa lagi yang dibangun oleh negara-negara maju, sementara hampir semua infrastruktur sudah mereka miliki? Perbedaan yang paling mendasar adalah soal tipe infrastruk-turnya. Di negara berkembang, infrastruktur yang dibangun adalah infrastruktur dasar, sementara negara maju harus membangun ulang atau mengganti infrastruktur yang menua dengan infrastruktur yang baru supaya daya saing tetap terjaga. Mereka menghadapi problem umur infrastruktur yang menua (aging infrastrcture). Jadi, sampai kapan pun, semua negara tak akan pernah berhenti membangun. Pembangunan infrastruktur dasar sebetulnya sudah dilakukan Indonesia sejak lama, tetapi percepatannya tampak sejak 2014 ketika rezim pemerintahan yang baru memberi fokus pada sektor ini. Berbagai infrastruktur dasar, seperti jalan raya dan jalan tol, bendungan, pembangkit listrik, pelabuhan, dan bandara dibangun di mana-mana. Rezim ini memulai percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih dahulu memotong subsidi energi yang selama ini membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan yang tak populis ini awalnya dicibir oleh berbagai kalangan, tetapi dibela para analis dan pakar pemerhati fiskal karena dengan pemotongan subsidi, APBN menjadi lebih sehat. Dampak inflasi yang cukup signifikan juga hanya akan terjadi sekali saja, selanjutnya akan cenderung rendah. Pada 2012, subsidi mencapai Rp 346,4 triliun, pada 2014 mencapai Rp 392 triliun dengan rata-rata alokasi sebesar 22,3 persen dari total belanja negara. Peningkatan subsidi itu disebabkan oleh meroketnya subsidi bahan bakar minyak dan listrik dengan alokasi sekitar 60 persen dari total subsidi 2012-2014. Subsidi bahan bakar minyak dan listrik melonjak dari Rp 306,48 triliun pada 2012 menjadi Rp 341,81 triliun pada 2014. Namun, sejak akhir 2014, pemerintah mereformasi kebijakan subsidi secara bertahap pada sejumlah program subsidi. Pencabutan subsidi premium dan penerapan subsidi tetap untuk solar menjadi kebijakan pertama pemerintah kala itu. Dampaknya, subsidi bahan bakar minyak turun dari Rp 240 triliun pada 2014 menjadi Rp 60,8 triliun pada 2015. Pada 2016, realisasi subsidi turun lagi menjadi Rp 43,7 triliun, terutama disebabkan turunnya harga minyak dunia. Tahun 2017, pemerintah hanya mengalokasikan subsidi bahan bakar minyak Rp 32,3 triliun.Di sektor listrik, pemerintah juga melakukan reformasi sehingga subsidi turun dari Rp 101,8 triliun pada 2014 menjadi Rp 58,3 triliun pada 2015. Reformasi subsidi listrik terus berlanjut hingga tahun ini sehingga alokasi subsidi dari APBN makin rendah. Setelah listrik, pemerintah juga mulai melakukan reformasi subsidi elpiji 3 kilogram. Dengan turunnya beban subsidi, pemerintah punya alokasi yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur. Namun, kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur tetap besar. Dalam rencana jangka menengah 2014-2019, Indonesia membutuhkan dana Rp 6.541 triliun untuk membiayai 225 proyek dan program kelistrikan, termasuk 52 proyek pembangunan jalan, 19 proyek jaringan kereta api, 17 bandara, 13 pelabuhan, dan 25 kawasan ekonomi. APBN diperkirakan hanya sanggup membiayai Rp 1.555 triliun atau sekitar 24 persen dari kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur itu. Untuk menutup gap antara kebutuhan dan ketersediaan dana APBN, harus ada skema pembiayaan lain. Kekurangan itu menurut rencana ditutup dari penerbitan obligasi dan penarikan pinjaman Rp 3.272 triliun, badan usaha milik negara Rp 312 triliun, kerja sama pemerintah dan swasta Rp 1.308 triliun, serta pembiayaan di luar APBN Rp 93 triliun. Jadi, pemerintah sebetulnya juga "berdarah-darah" ketika mengambil keputusan untuk fokus pada infrastruktur. Lalu, kenapa kebijakan itu harus diambil kendati pemerintah harus ketat menjaga fiskal? Infrastruktur dasar wajib tersedia kalau kita mau bersaing dengan negara lain, termasuk tetangga di kawasan yang sudah lebih dahulu berlari kencang membangun infrastruktur. Tanpa infrastruktur dasar, kita akan selalu menjadi pelari terakhir di lintasan. Padahal, kini dunia masuk dalam era persaingan. (A HANDOKO)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000