JAKARTA, KOMPAS — Kondisi industri properti di sektor residensial dan perkantoran yang lesu mesti dihadapi dengan berbagai penyesuaian. Pasar segmen menengah ke bawah sektor residensial menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan seiring penurunan penjualan hunian menengah ke atas.
Selain itu, industri perdagangan elektronik atau e-dagang yang tumbuh pesat di Indonesia membuka peluang berupa kebutuhan sewa perkantoran.
Hal itu terungkap dalam laporan pasar properti triwulan II-2017 dan proyeksi industri properti oleh JLL Indonesia, Rabu (19/7), di Jakarta. "Di triwulan I dan II tahun ini, para pengembang mulai melakukan reposisi pasar. Mereka mulai masuk dan membuat produk untuk segmen menengah ke bawah dari yang sebelumnya hanya menengah ke atas. Itu berarti pengembang menyesuaikan dengan keinginan pasar, misalnya dengan membuat angsuran uang muka," kata Head of Advisory JLL Indonesia Vivin Harsanto.
Kondisi industri properti yang masih lesu, khususnya pasar kondominium segmen menengah ke atas, tergambar dari rata-rata penjualan kondominium hingga pertengahan 2017, yakni 64 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 69 persen. Harga per unit pun stagnan karena permintaan lemah.
Sementara pada triwulan II-2017, pasokan kondominium bertambah 3.510 unit, lebih tinggi daripada triwulan I-2017 yang bertambah 1.333 unit.
Menurut Head of Research JLL Indonesia James Taylor, saat ini pengembang mesti membuat produk yang menarik bagi pembeli. Beberapa hal yang dapat menarik pembeli adalah harga hunian terjangkau, unit hunian kecil, reputasi pengembang yang baik, lokasi hunian strategis, serta dekat dengan fasilitas transportasi umum.
"Tahun ini masih dalam perbaikan atau perlahan naik. Harga untuk kondominium segmen menengah berkisar Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar, untuk segmen ke bawah Rp 500 juta sampai Rp 1,5 miliar," ujar Taylor.
Menurut Vivin, hal lain yang memengaruhi penjualan hunian untuk segmen menengah ke atas adalah faktor sosial-politik. Meredanya kegaduhan politik diharapkan dapat memulihkan kepercayaan pasar. "Kondisi sosial- politik mengganggu sektor properti karena ini soal kepercayaan. Masyarakat menunggu dan ingin melihat akhirnya seperti apa," kata Vivin.
Di sektor perkantoran, pasokan yang besar turut menekan sewa perkantoran. Hingga akhir 2017, diperkirakan ada tambahan 785.000 meter persegi ruang perkantoran baru di kawasan bisnis terpadu. Luas perkantoran saat ini sekitar 5,6 juta meter persegi. Hingga akhir semester I-2017, penyerapan ruang kantor mencapai 114.000 meter persegi.
"Dari sisi permintaan tampak positif, meskipun tidak bisa dimungkiri suplai ruang perkantoran yang besar menekan pasar sewa perkantoran di kawasan bisnis terpadu. Saat ini, permintaan datang dari perusahaan e-dagang, seperti online market place, perusahaan teknologi finansial, situs pemesanan perjalanan, dan online gaming," kata Taylor.
Taylor menambahkan, populasi Indonesia yang besar dengan jumlah kelas menengah yang meningkat merupakan pasar yang potensial. Hal itu pula yang menarik beberapa perusahaan asing berinvestasi di sektor logistik dan residensial di Indonesia.
Menurut Taylor, pengembang tidak membangun hanya dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, tetapi melihat potensi 3-5 tahun ke depan.
Sektor logistik disasar para investor asing karena pertumbuhan e-dagang yang pesat di Indonesia. Sektor tersebut memerlukan fasilitas pergudangan modern yang saat ini jumlahnya masih terbatas. "Peluangnya, populasi terus tumbuh dengan jumlah orang muda yang melek teknologi informasi besar. Ini pasar yang terus tumbuh. Permintaan pergudangan modern datang dari perusahaan e-dagang, seperti Alibaba, Lazada, dan JD.id," ujar Taylor. (NAD)