PALEMBANG, KOMPAS — Rantai pasok yang terlampau panjang merugikan petani dan konsumen. Permainan harga dari para tengkulak dan pabrikan membuat disparitas harga terlalu tinggi. Memperbaiki tata niaga beras yang berasaskan keadilan menjadi prioritas pemerintah saat ini.
Kepala Satuan Tugas Pangan Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, saat berkunjung ke Palembang, Jumat (28/7), menyatakan, saat ini ketimpangan harga beras dari hulu hingga hilir terlampau tinggi. Setelah dikaji, disparitas harga disebabkan oleh panjangnya rantai pasok beras.
Apabila dilihat dari pendapatan yang diterima, petani adalah pihak yang paling dirugikan. Setyo menambahkan, setiap kali panen selama empat bulan, rata-rata pendapatan 56 juta petani hanya Rp 65 triliun, sedangkan pihak perantara atau middle man yang berjumlah sekitar 400.000 orang mampu memperoleh pendapatan Rp 180 triliun.
Padahal, dengan kerja keras petani menanam, memupuk, dan menuai padi, hasil yang diperoleh sangat kecil. Sementara pihak penyalur yang pekerjaannya tidak seberat petani memperoleh untung hingga ratusan juta rupiah. ”Karena itu, tata niaga penyaluran beras harus dibenahi agar memenuhi asas keadilan,” ujar Setyo.
Sejak dibentuknya satgas pangan dua bulan lalu, lanjut Setyo, pihaknya sudah menangani 212 kasus terkait pangan. Sejumlah 105 kasus terkait kasus yang berkaitan dengan bahan pokok, sedangkan 107 kasus di luar bahan pokok seperti pengoplosan elpiji.
Dari 105 kasus yang ditangani, 45 kasus berkaitan erat dengan beras, mulai dari penyimpangan pengolahan beras, termasuk terkait penyimpangan dalam tata niaga beras. ”Beras merupakan bahan pokok yang penting. Karena itu perlu diawasi keberadaannya,” ujar Setyo.
Target utama keberadaan satgas pangan adalah melakukan edukasi kepada masyarakat terkait informasi bahan pokok. Termasuk juga menata kembali tata niaga bahan pokok, di antaranya beras, agar lebih sehat dan berkeadilan.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengemukakan, berdasarkan kajian, rantai pasok yang ada di Indonesia cukup panjang. Penyaluran gabah dimulai dari petani kemudian dikumpulkan oleh tengkulak, selanjutnya gabah diproses di penggilingan kecil, penggilingan besar. Setelah diproses, beras disalurkan kepada pedagang besar dan di salurkan ke agen, sub-agen, dan ke pengecer. Setelah itu, beras sampai kepada konsumen.
Syarkawi menuturkan, sebenarnya rantai pasok dapat dikurangi. Berkaca pada Korea Selatan, mereka memiliki pasar lelang komoditas yang mampu menjadi perantara antara petani dan pedagang.
”Rantai pasok mereka tidak terlalu panjang sehingga disparitas harga dari hulu ke hilir tidak terlalu tinggi,” ujarnya.
Keberadaan Perum Bulog bisa dimanfaatkan sebagai penghubung dengan meningkatkan daya serap Bulog yang saat ini kurang optimal. Dari 79,9 ton produksi gabah kering giling yang diperoleh pada 2016, yang kemudian dikonversi menjadi 46 juta ton beras, Bulog hanya mampu menyerap 10 persen dari produksi beras nasional.
”Ke depan peran Bulog perlu diperkuat agar dapat menyerap setidaknya 20 persen,” ungkap Syarkawi.
Selain itu, lanjut Syarkawi, pihaknya berharap pemerintah tidak menggeneralisasi penentuan harga eceran tertinggi (HET) pada semua jenis beras karena akan menimbulkan gejolak di pasar. HET seharusnya hanya diberikan bagi beras untuk medium ke bawah yang paling banyak beredar. Sementara untuk beras jenis premium diserahkan pada mekanisme pasar.
”Kami masih mengkaji rekomendasi HET yang sesuai agar memberikan keuntungan bagi petani dan pedagang,” ujar Syarkawi.
Petani di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Andriana (44), menerangkan, dalam satu kali panen, dia hanya memperoleh keuntungan Rp 4 juta. Keuntungan itu dia peroleh dalam satu kali panen di mana 1 hektar lahannya dapat menghasilkan 2,2 ton gabah kering panen (GKP). Dia selalu menjual kepada tengkulak karena harga yang ditawarkan cukup tinggi, yakni Rp 4.500 per kg.
”Kami tidak pernah jual ke Bulog karena mereka tidak pernah datang ke wilayah kami,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga berutang kepada tengkulak karena mereka telah memberikan bantuan kepada petani untuk memulai masa tanam. Selain dana, para tengkulak juga memberikan bantuan pupuk yang tahun ini belum disalurkan pemerintah.
”Kami tidak bisa berbuat banyak karena mereka (tengkulak) sudah membantu kami di awal,” ujar Andriana.