Meraih Rupiah dari Songket Lombok
Kedua tangan Siti Ramlah (23) terampil memainkan alat tenun yang dalam bahasa Sasak, Lombok, disebut ranggon. Tangan kanannya seakan melempar gulungan benang pakan (pengiring) ke celah-celah benang lungsi yang dipasang melintang pada alat tenun.
Siti pun mengentak-entakkan galih kayu berire sepanjang 50 sentimeter, pipih, dan berujung lancip agar benang pakan dan lungsi menyatu sehingga menghasilkan anyaman benang kain songket. Kayu berire yang beradu menggetarkan alat tenun dan suara plok-plok yang seakan menjadi musik pengiring bagi penenun.
Ramlah, warga Dusun Burhana, Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, bersama 1.500 penenun dari beberapa dusun mengikuti acara promosi tenun desa yang bertajuk Festival ”Begawe Jelo Nyesek” (Pesta Hari Menenun) di lahan persawahan, Rabu (26/7).
Aktivitas menenun bagi kalangan perempuan di Desa Sukarara dan Pulau Lombok umumnya berjalan turun-temurun. Apalagi sarung (kereng) tenun songket sebagai prasyarat yang dipenuhi dalam pernikahan. Karena itu, alih generasi penenun dilakukan sejak dini. Ramlah pun mahir menenun sejak usia 12 tahun setelah belajar nyesek dari ibunya.
Lulus sekolah menengah atas tahun 2012, Ramlah memanfaatkan keterampilannya itu sebagai sumber penghasilan sehari-hari. ”Apalagi anak saya mulai masuk PAUD (pendidikan anak usia dini) yang memerlukan biaya,” kata Ramlah.
Ramlah biasanya menenun kain songket dengan beragam motif, seperti subahnale (lingkaran segi empat menyerupai sarang lebah), motif keker (burung merak berhadapan yang bernaung di bawah pohon), dan motif sabuk anteng (ikat pinggang kaum wanita atau menggendong (umbak) bayi dengan ornamen garis/jalur lurus, membujur searah benang lungsi beraneka warna, dan ujungnya berumbai).
Penghasilan
Bagi Ramlah dan penenun lainnya, menenun produk itu membutuhkan waktu sekitar satu minggu. Bahkan, motif subahnale (lingkaran segi enam menyerupai sarang laba lebah dipadu ornamen bunga) diselesaikan satu bulan karena sangat rumit proses menenunnya. Ada juga motif rang-rang yang berpola zig-zag berpori dengan pilihan warna-warna cerah.
Bahan menenun, seperti benang marsis, sutra, dan benang katin, didapat dari pengusaha penampung yang memasarkan hasil karya mereka. Sebulan terakhir, ia menenun dari pagi hingga sore hari, dan bisa menyelesaikan tiga kain songket motif subahnale tiga lembar.
Dari tiga lembar kain songket itu, penampung membayar Ramlah Rp 1.300.000. Namun, setelah dipotong pinjaman benang, Ramlah tinggal mengantongi Rp 800.000.
Penghasilan itu sangat berarti bagi Ramlah karena kiriman uang dari suaminya, Wirantana, yang menjadi buruh migran dua tahun di Malaysia, datang tiga-empat bulan sekali sebesar Rp 1 juta-Rp 2 juta. Jumlah itu dinilai sekadar untuk bertahan hidup bersama seorang anaknya, Nindia Erisca (2,5 tahun). Malahan ia masih menumpang hidup kepada orangtuanya yang berdagang barang kelontong.
Begitu pun perempuan perajin, Lemar (45) dan Yanti (35), keduanya warga Dusun Duah, Desa Sukarara. Lemar biasa menenun sabuk anteng sepanjang 4 meter dan lebar 30 cm, yang membutuhkan konsentrasi dan waktu penyelesaian selama seminggu per lembar.
Sabuk anteng ditampung pengusaha di desanya. Lemar menjualnya Rp 500.000 meski yang masuk kantong Rp 400.000 karena Rp 100.000 diserahkan kepada penampung yang menyediakan benang.
Selain kain songket, beragam produk cendera mata tersedia di toko kerajinandesa yang berdekatan dengan Bandara Internasional Lombok, atau 30 kilometer dari obyek wisata Pantai Mandalika Kute, Lombok Tengah, seperti syal, tas, topi, dan sapuk (ikat kepala), dengan harga jual terjangkau kocek pembeli, yakni Rp 25.000-Rp 100.000 per lembar.
Kemiskinan
Kepala Desa Sukarara Timan mengatakan, membaiknya pasar kain songket memberikan kontribusi bagi kehidupan sosial ekonomi desa. Di desa berpenduduk 1.193 jiwa (206 keluarga) itu, saat ini tercatat 809 orang berkategori miskin. Begitu pun penghasilan rata-rata per bulan warga, meningkat dari Rp 400.000 pada tahun 2000 menjadi Rp 1 juta saat ini.
Hanya saja, pemasaran produk songket Lombok mengalami pasang surut, seperti dikatakan Wawan, pengusaha penampung, yang menjual barang ke Denpasar, Bali. Warga Dusun Dasan Baru, Desa Sukarara, itu mengatakan, tahun 2001-2002 ia dapat menjual kain tenun songket beragam motif, 10 lembar hingga 20 lembar per minggu di Bali. Belakangan, karena kalah bersaing di Bali, ia konsentrasi memenuhi toko kerajinandi Kota Mataram atau menjual barang di toko kerajinannya.
Wawan punya alasan menyasar pasar lokal Lombok. ”Saya yakin, konsumen tahu bahwa produk asli songket ada di sentranya,” ujarnya.
Keyakinan itu tidak berlebihan sebab Wawan bisa menjual songket 50-100 lembar sebulan. Harga jualnya bervariasi, bergantung pada bahan baku, rata-rata Rp 350.000-Rp 400.000 kain songket panjang 200 cm dan lebar 60 cm. Produk tenunan itu umumnya dibeli wisatawan.
Penenun yang diikat tradisi telah menghasilkan motif eksotis dan laku dijual meskipun mereka meraih hasil rupiah jauh dari cukup. Namun, hidup penenun di sentra industri berkontribusi terhadap serapan tenaga dan pergerakan ekonomi, khususnya Desa Sukarara.