Penataan Dilakukan Menyeluruh
JAKARTA, KOMPAS — Penataan keberadaan layanan angkutan berbasis aplikasi seharusnya juga diikuti penertiban transportasi umum konvensional yang kerap kali memberikan pelayanan buruk kepada warga. Dengan demikian, tercipta persaingan sehat di industri angkutan umum. Hal itu menjadi inti diskusi publik "Quo Vadis Transportasi Umum Berbasis Aplikasi", Kamis (3/8), di Jakarta. Hadir sebagai pembicara Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati, Ketua Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia Muslich Zainal Asikin, dan Senior Public Policy Associate Uber Indonesia Pandu Adi Laras. Muslich mencontohkan, sejumlah operator angkutan umum konvensional beroperasi ilegal di bandara, stasiun, terminal, dan pelabuhan. Pemiliknya tidak jarang mematok tarif yang memberatkan penumpang. Beberapa pemain yang legal pun kerap memberikan pelayanan seenaknya. "Ketika konektivitas menjadi ideologi, pemerintah perlu menekankan pada terpenuhinya transportasi yang aman, nyaman, dengan biaya terjangkau," ujarnya.Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Tidak dalam Trayek mencakup tiga pengaturan utama, yakni pembatasan kuota, tarif batas bawah, dan pengalihan kepemilikan kendaraan pribadi. Peraturan diterapkan penuh per 1 Juli 2017. Enny mengemukakan, pemerintah sudah saatnya mempunyai peta jalan penataan transportasi umum perkotaan. Dia menilai kebijakan yang sekarang ditetapkan masih bersifat parsial. Kasus angkutan umum berbasis aplikasi, misalnya, belum memasukkan persoalan kesejahteraan pengemudi mitra. Pandu menyebut keberadaan perusahaannya untuk membantu membuka lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja yang menganggur. Sistem teknologi yang dikembangkan Uber memungkinkan mitra pengemudi lebih mudah bertransaksi secara elektronik. (MED)