logo Kompas.id
EkonomiHarga Menjadi Insentif
Iklan

Harga Menjadi Insentif

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Kalangan petani menyambut baik rencana pemerintah mengubah skema subsidi benih dan pupuk. Subsidi secara langsung dinilai akan lebih tepat sasaran. Namun, kepastian harga melalui penetapan harga pembelian yang layak menjadi insentif terbaik yang bisa memotivasi petani.Sebelumnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, subsidi langsung adalah cara terbaik. Reformasi subsidi pupuk dan benih tinggal menunggu kemauan politik pemerintah. "Data mulai dirapikan. Kalau ada kemauan politik, tinggal jalan," ujarnya saat berkunjung ke kantor Kompas di Jakarta, Kamis (3/8).Ketua Kelompok Bumi Tani di Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Masroni, Jumat (4/8), menyatakan, subsidi pupuk dan benih selama ini kadang datang tidak tepat waktu. Ada petani yang mencoba menggunakan benih subsidi, tetapi pertumbuhan tanaman dan hasil panen tidak sesuai janji di label kemasan.Subsidi benih juga dinilai tidak signifikan mendongkrak kesejahteraan petani. Apalagi, kebutuhan benih tidak lebih dari 5 persen total ongkos produksi padi. Menurut Masroni, pemerintah lebih baik memastikan petani dapat menjual hasil panen dengan harga yang layak.Caranya antara lain dengan menaikkan standar harga pembelian pemerintah (HPP). HPP saat ini, yakni Rp 3.700 per kilogram gabah kering panen (GKP) di tingkat petani, sudah tidak relevan. Sejumlah petani di Jawa Barat menyebutkan, ongkos produksi padi saat ini telah mencapai Rp 4.200 per kg GKP.Hal senada disampaikan Ijam Sujana, Ketua Kelompok Guna Tani di Tempuran, Kabupaten Karawang. Menurut Ijam, subsidi secara langsung akan lebih berguna bagi petani. Mereka bisa menentukan benih dan pupuk sesuai kebutuhan.Namun, jaminan harga jual yang menguntungkan lebih memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitas lahan ketimbang subsidi input. Apalagi, berdasarkan pengalaman selama ini, harga sering kali anjlok di bawah HPP saat panen raya atau saat mutu hasil panen buruk. Data petaniKetua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika menuturkan, perubahan skema menjadi subsidi langsung berisiko menimbulkan kegaduhan jika tidak disertai data petani yang akurat. Daftar gabungan kelompok tani atau kelompok tani yang dimiliki pemerintah tidak menggambarkan data sebenarnya."Terkait pendataan, siapa petani yang menjadi target subsidi, apakah petani tanaman pangan saja atau termasuk hortikultura dan perkebunan? Saya memperkirakan data ini belum ada dan jika dipaksakan bisa menimbulkan masalah," tuturnya.Seperti harapan petani, Yeka menilai pemerintah lebih baik mengalihkannya pada subsidi hasil (output), bisa dimulai dari petani padi. Caranya, pemerintah melalui Perum Bulog menerima beras petani dengan harga tertentu, lantas menjualnya ke konsumen dengan harga yang lebih murah.Terkait data, Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, perubahan skema subsidi mengharuskan pemetaan data petani terlebih dahulu. "Sekarang datanya sedang dicocokkan. Harus ada basis data terpadu. Nanti penyalurannya bisa diintegrasikan di Program Keluarga Harapan," kata Bambang.Selain masalah ketepatan waktu dan mutu, subsidi pupuk menghadapi masalah di lapangan. Anggota Ombudsman RI Bidang Ekonomi II, Alamsyah Saragih, menyatakan, bagi petani kecil yang rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,3 hektar, pupuk bersubsidi merupakan peluang untuk mendapatkan uang kas jika dijual kembali. Subsidi pupuk tidak lagi efektif dan hanya meningkatkan nilai tambah pemilik lahan luas. (MKN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000