Belakangan ini timbul pertanyaan mendasar tentang ”konflik” antara data makro dan data mikro. Secara makro, perekonomian Indonesia cukup baik, yakni dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen; inflasi tahunan 3,88 persen; cadangan devisa diperkirakan memecahkan rekor tertinggi (rekor sebelumnya 124,95 miliar dollar AS); dan rupiah yang cukup stabil di 2017.
Namun, deretan data itu ternyata tidak sinkron dengan data mikro. Penjualan mobil tahun ini maksimal 1,1 juta unit (rekornya 1,23 juta unit pada 2013), penjualan sepeda motor 6 juta unit (jauh di bawah rekor 8 juta unit pada 2014), dan penjualan semen semester I-2017 turun tipis 1,3 persen. Sementara Badan Pusat Statistik mencatat, industri skala besar dan sedang hanya tumbuh 4 persen pada triwulan II-2017, atau turun dibandingkan pertumbuhan 5 persen pada periode yang sama 2016 dan 5,25 persen pada 2015. Gairah perekonomian suatu negara bisa direpresentasikan oleh kinerja manufaktur, penjualan otomotif, dan penjualan rumah.
Lalu ada yang mengambil kesimpulan telah terjadi penurunan daya beli konsumen. Benarkah? Belum tentu. Setidaknya berdasarkan data inflasi di bawah 4 persen, apakah daya beli turun? Bukankah inflasi 4 persen itu bagus untuk ukuran Indonesia? Bank Indonesia bahkan mulai berani melempar kembali wacana redenominasi rupiah karena terinspirasi oleh inflasi rendah dalam dua tahun terakhir. Namun, inflasi rendah ternyata diikuti pula permintaan barang dan jasa yang rendah. Dengan demikian, sesungguhnya rencana redenominasi belum menemukan momentum yang tepat.
Saya punya penjelasan lain. Lesunya permintaan, terutama otomotif, sebenarnya lebih banyak dipicu berkurangnya antusiasme berbelanja. Ini faktor psikologis yang terkait dengan persepsi konsumen dalam memandang perekonomian pada saat ini dan bagaimana prospeknya. Perekonomian Indonesia terkoneksi dengan perekonomian global. Ketika ekonomi global bergairah, transmisinya akan sampai ke perekonomian domestik, begitu pula sebaliknya. Sayangnya, saat ini dunia tengah dicekam ketidakpastian. Siapa pun sulit menebak, bagaimana Presiden Amerika Serikat Donald Trump ingin menghidupkan kembali rezim proteksionisme karena AS menderita defisit 347 miliar dollar AS dalam neraca perdagangan dengan China. AS kewalahan memangkasnya melalui jalur kompetisi normal sehingga Trump berpikir proteksionis. Ini esensiya sama dengan fenomena Brexit, yakni mundurnya Inggris dari Uni Eropa yang bisa memicu perang dagang ke mana-mana.
Harga komoditas primer yang menjadi andalan Indonesia juga terjerumus dalam ketidakpastian. Harga batubara kini memang 75 dollar AS per metrik ton, naik dari 50 dollar AS pada awal 2016. Namun, harganya sempat melesat hingga 100 dollar AS pada Desember 2016. Artinya, fluktuasi harga masih sangat tajam dan tak ada yang tahu masa depan harganya. Batubara adalah substitusi utama minyak yang harganya kini tertekan di bawah 50 dollar AS per barrel.
Dalam situasi ketidakpastian ini, para pelaku ekonomi di Indonesia bersikap realistis. Untuk memitigasinya, respons terbaik yang mereka pilih adalah mengerem belanja. Konsumsi harus dikelola, lalu likuiditasnya ditaruh di bank sebagai simpanan untuk berjaga-jaga. Itulah sebabnya, dana pihak ketiga di perbankan kita melonjak menjadi Rp 5.000 triliun, sementara kredit yang disalurkan bank cuma tumbuh 8 persen pada semester I-2017, atau di bawah target 12-14 persen.
Persepsi dan ekspektasi
Jadi, penyebab lemahnya permintaan barang dan jasa (terutama manufaktur) sebenarnya bukan disebabkan daya beli yang turun, melainkan dipengaruhi lemahnya persepsi dan ekspektasi yang menyebabkan konsumen enggan belanja dengan kecepatan normal. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan fenomena ini asalkan bersifat sementara, bukan jangka panjang.
Karena itu, tugas pemerintah sekarang adalah mengungkit kepercayaan konsumen agar pulih sehingga mereka kembali berbelanja pada level normal. Di banyak negara, sektor pemerintah, yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengambil alih sementara tugas belanja ini. Ketika presiden AS ke-44, Barack Obama, menghadapi rendahnya kepercayaan masyarakat dalam berbelanja, yang dilakukannya adalah membangkitkan perekonomian melalui jalur fiskal (aliran Keynesian). Obama meningkatkan defisit APBN sehingga rasio utang Pemerintah AS jadi 106 persen dari produk domestik bruto (PDB), meski masih di bawah Jepang 250 persen dan Italia 132 persen.
Dalam kasus Indonesia, pemerintah harus mempertahankan ritme belanja infrastruktur meski defisit APBN menyentuh 2,92 persen terhadap PDB atau sangat dekat dengan batas aman 3 persen. Utang pemerintah sebenarnya masih 28 persen terhadap PDB atau jauh di bawah India dan Brasil (69 persen), Meksiko (48 persen), dan China (46 persen). Konsistensi di jalur pembangunan infrastruktur merupakan modal penting pemerintah untuk menjadi kredibel di mata pasar. Itulah sebabnya, S&P akhirnya memberi predikat layak investasi.
Namun, sayangnya, hal-hal ini acap kali kalah oleh hiruk-pikuk politik, ditambah analisis yang menakut-nakuti bahwa kita di ambang krisis karena terjerat utang. Utang memiliki dua dimensi, yakni jumlah dan alokasi. Secara kuantitatif, pembandingnya adalah PDB. Angka 28 persen masih aman. Secara kualitatif, sepanjang utang itu dialokasikan untuk hal yang produktif (infrastruktur), dampaknya pengganda dalam jangka menengah dan panjang akan positif. Hanya saja, kadang kala ada saja orang yang tidak sabar menanti hasilnya.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM