Petani Enggan Memanen Rotan
KASONGAN, KOMPAS — Bahan baku rotan di Kalimantan Tengah melimpah, tetapi petani enggan memanen karena berbagai soal, terutama harga. Di Kabupaten Katingan saja masih terdapat 30.126 hektar wilayah sebaran rotan, dengan hasil 241.008 ton rotan mentah sekali panen.
Ketua Perhimpunan Petani Rotan Katingan (P2RK) Oscar N Sukah mengatakan, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 tentang larangan ekspor rotan ke luar negeri, banyak petani kehilangan pembeli. Ditambah lagi, pembeli yang ada saat ini membeli rotan mentah dengan harga rendah, yakni Rp 1.300 sampai Rp 1.500 per kilogram.
"Kami jual saja daripada tidak dapat apa-apa. Karena harga hanya segitu, banyak petani tidak mau lagi memanen rotan dan mencari sumber nafkah lain," kata Oscar, di Kasongan, Kabupaten Katingan, Minggu (6/8).
Oscar menambahkan, harga rotan tidak bisa menyejahterakan petani karena untuk memanen rotan butuh tenaga besar dan kemampuan khusus. Idealnya, harga rotan mentah di tingkat petani Rp 2.500 per kg.
Menurut dia, P2RK saat ini memiliki 209 anggota dengan 270 bidang kebun rotan seluas 690,88 hektar. Untuk menambah minat pembeli, pihaknya menjalin kerja sama dengan Forest Stewardship Council (FSC) untuk mendapatkan sertifikat sehingga pembeli bisa mengetahui asal-usul rotan lengkap dengan koordinat kebun milik petani yang bisa dilihat di situs resmi FSC. "Tetap sepi pembeli. Saya juga bingung," ujar Oscar.
Aja Bahar (55), petani rotan di Desa Hampangen, Kecamatan Tasik Payawan, Katingan, mengatakan, saat ini dia beralih pekerjaan menjadi tenaga harian lepas di kebun-kebun tetangga. Ia pernah menjual rotan basah dengan harga Rp 1.300 per kg. Dia terpaksa menjual karena khawatir rotan mentah akan rusak kalau disimpan selama 10 hari.
"Pembeli sekarang suka pilih-pilih. Kalau yang dikirim ke Cirebon, Jawa Barat, mereka minta yang kecil, ukuran 4 sampai 6 milimeter. Padahal, kami kalau panen tidak bisa pilih-pilih karena akan memakan waktu," kata Bahar.
Menurut Bahar, kalau pembeli meminta ukuran kecil, rotan dengan ukuran besar tidak terjual. Akibatnya, dia terpaksa menjual ke pengumpul rotan dengan harga rendah.
Yakobus (41), pengumpul rotan, mengatakan, produksi rotan tidak sebanyak awal tahun 2000-an. Dulu, dia kerap membeli 400 ton dalam waktu setahun. Saat ini mendapatkan 100 ton saja sudah menjadi hal luar biasa. Dia menjual rotan ke Surabaya atau ke Cirebon dengan harga Rp 7.500 per kg. Sebelumnya dia menjual rotan dengan harga Rp 9.000 per kg dan bisa menjual ke luar negeri.
Koordinator Pendamping Petani Rotan dari WWF Indra Bayu mengatakan, sepinya pembeli membuat petani resah dan ingin kebun rotan dialihfungsikan menjadi kebun sawit.
Kesulitan
Di kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pelaku usaha mebel rotan justru kesulitan mendapat bahan baku, setidaknya sejak 1,5 bulan lalu. Akibatnya, mereka kerap menolak rotan dari calon konsumen dalam dan luar negeri.
"Rotan mungkin ada, tetapi bukan jenis yang diinginkan, seperti rotan poles berdiameter 22 milimeter sampai 32 milimeter," kata Manajer Pemasaran CV Amelia Rotan Atang Suhendar, Minggu. "Biasanya tidak seperti ini. Barang yang diinginkan akan datang sekitar setengah bulan setelah dipesan. Saat pasokan lancar, kami dikirim tiga kontainer per bulan. Kalau seret seperti ini, mungkin hanya ada satu kontainer per bulan," katanya.
Saat Atang mengajak melihat isi gudang CV Amelia, tumpukan rotan terlihat menumpuk. Namun, Atang mengatakan tumpukan itu bukan jenis favorit. Rotan itu adalah jenis semipoles. Di jenis ini, kulit masih menempel di batang rotan.
"Rotan terlihat banyak, tetapi jumlahnya hanya sekitar 10 ton. Biasanya bisa 50 ton. Keterbatasan ini membuat banyak pesanan ditolak," katanya.
Mimin, pemilik Safira Rotan, di Desa Tegalwangi, Kecamatan Weru, Cirebon, mengeluhkan hal yang sama. Kondisi ini memicu lesunya bisnis mebel rotan yang ia geluti. Sejak beberapa hari lalu, dia hanya dibantu dua tenaga kerja untuk membuat kursi. Padahal, jika bahan baku tersedia, dia bisa mempekerjakan hingga tujuh perajin.
Ketua Yayasan Kampung Wisata Rotan Galmantro Solihin meminta pemerintah sebaiknya turun tangan mengatasi hal ini. Selama ini, informasi terkait jenis dan ukuran bahan baku yang tersedia di sektor hulu juga belum ada. Sebaliknya, sektor hulu tidak tahu kebutuhan sektor hilir di Cirebon.
Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Abdul Sobur mengatakan hal serupa. Ia meminta pemerintah serius memperhatikan masa depan mebel nasional. "Perbaiki proses usaha dari hulu ke hilir. Regulasi yang menghambat harus segera dihapuskan," ujarnya. (IDO/IKI/TAM)