Mempertahankan Siklus Perekonomian
Naik turunnya dinamika ekonomi merupakan sesuatu yang alami, tak perlu terlalu dirisaukan. Namun, arah jangka panjang harus menjadi fokus perhatian. Hal ini relevan dengan polemik mengenai penurunan daya beli masyarakat akhir-akhir ini.
Kalaupun konsumsi masyarakat cenderung stagnan yang diiringi pelemahan di beberapa sektor, bukan berarti arah jangka panjang perekonomian suram. Justru sebaliknya, prospek jangka menengah perekonomian kita begitu menjanjikan meskipun dalam jangka pendek diwarnai berbagai perkembangan yang kurang menggembirakan.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2017 sebesar 5,01 menunjukkan gejala stagnasi, paling tidak terhadap triwulan sebelumnya. Meski begitu, triwulan III terlihat akan lebih dinamis karena dua alasan utama. Pertama, Indeks Tendensi Bisnis (ITB) masih terus meningkat. ITB triwulan II-2017 tercatat 111,63, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kedua, pertumbuhan kredit perbankan diproyeksikan masih terus naik pada triwulan III dan IV tahun ini.
Bank Indonesia dalam Survei Perbankan melaporkan terjadinya peningkatan pertumbuhan kredit baru pada triwulan II-2017 yang diperkirakan berlanjut pada triwulan berikutnya. Perkiraan peningkatan kredit didorong dua hal, yaitu perkiraan kondisi ekonomi yang lebih baik dan penurunan risiko penyaluran kredit. Jadi, meskipun ada dinamika, prospeknya masih tetap menggembirakan, apalagi arah jangka panjangnya.
Secara umum, konsumsi masyarakat dan investasi masih jadi andalan untuk menghela laju pertumbuhan pada masa depan. Peran pengeluaran pemerintah besar selama beberapa tahun ini. Namun, kapasitasnya mulai penuh sehingga tak bisa dinaikkan lagi.
Dalam situasi seperti ini, konsumsi dan investasi akan menjadi pilar pertumbuhan. Ekspor tak bisa lagi diandalkan karena dua hal. Pertama, pertumbuhan global mengalami moderasi. Kedua, kemampuan kita beralih dari dominasi ekspor komoditas menjadi ekspor hasil olahan butuh waktu panjang.
Terhadap situasi perekonomian global saat ini, dua gejala perlu diantisipasi. Pertama, meskipun pertumbuhan ekonomi global mulai menunjukkan pemulihan, angkanya relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi global tak akan kembali seperti masa sebelum krisis 2007/2008. Kedua, pola perekonomian sebelum dan sesudah krisis juga berubah. Setelah krisis global, dinamika perekonomian diiringi dengan kemajuan di bidang teknologi digital. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi tak akan lagi banyak menyerap tenaga kerja.
Perekonomian negara maju tengah beralih menuju fase yang berbeda. Peran teknologi semakin dominan. Bagi mereka, hal ini merupakan keniscayaan karena masyarakatnya menua sehingga produktivitas tenaga kerja (manusia) semakin menurun. Lalu, bagaimana dengan negara berkembang seperti kita?
Di sinilah letak dilemanya. Di satu sisi, pasokan tenaga kerja usia produktif masih melimpah meski dengan keterampilan terbatas. Di sisi lain, kita harus beralih ke teknologi, terutama di beberapa sektor. Surutnya sektor ritel Indonesia bisa jadi dipengaruhi peralihan perilaku konsumen dari pola belanja konvensional ke daring. Akibatnya, banyak toko dan pusat perbelanjaan sepi pengunjung. Kalaupun saat ini migrasinya masih terbatas, ke depan kecenderungan ini akan semakin intensif.
Teknologi digital
Tentu saja, kemajuan teknologi tak bisa menjadi kambing hitam. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang netral. Persoalannya, jika perkembangannya tak dikelola secara baik, justru menimbulkan implikasi negatif bagi perekonomian.
Kemampuan teknologi data besar bisa memberikan peta informasi menyeluruh mengenai pola produksi, distribusi, dan konsumsi masyarakat. Bagi negara kepulauan seperti kita, mengandalkan data besar sebagai basis pengambilan kebijakan (bisnis) akan sangat menguntungkan.
Hal yang sama terjadi dalam hal akses keuangan. Mengandalkan institusi keuangan konvensional untuk situasi geografis seperti kita ini sangat tidak menguntungkan. Maka, inovasi sektor keuangan dengan mengandalkan kemajuan teknologi justru membantu. Praktik sistem perbankan tanpa kantor dalam rangka inklusi keuangan jika dilakukan dengan benar akan memberikan efek yang signifikan bagi perekonomian.
Kemajuan sektor digital berpeluang dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai kendala geografis dalam perekonomian kita. Persoalannya, siapa yang menjadi garda depan introduksi teknologi digital dalam perekonomian kita. Tentu saja, pemerintah harus mengambil inisiatif dengan memberikan informasi awal yang memadai dan melakukan fungsi fasilitasi.
Dalam konteks sektor keuangan, misalnya, Bank Indonesia bisa memberikan semacam ilustrasi dari potensi tiap-tiap daerah sehingga pelaku swasta memiliki dasar yang memadai untuk mengambil keputusan bisnis. Begitu pula dengan pola produksi, distribusi, dan konsumsi barang, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan seharusnya memiliki basis informasi yang utuh sehingga bisa menyusun peta jalan yang realistis. Dari sana, keterlibatan sektor swasta bisa diharapkan.
Jadi, meskipun prospek perekonomian kita dalam jangka panjang tetap menjanjikan, dalam jangka pendek ini ada banyak tantangan yang harus dijawab. Meski daya beli masyarakat masih kuat atau paling tidak tak turun, di beberapa sektor dan segmen terlihat lemah. Melihat situasi ini, pemerintah harus cepat merespons, khususnya penurunan daya beli pada masyarakat bawah.
A Prasetyantoko
Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya