Menjadikan Asuransi Makin Relevan dengan Kebutuhan Masyarakat
Industri asuransi adalah industri yang punya karakteristik khusus, sebagaimana industri keuangan nonbank lainnya. Selain bisnis tak berwujud, asuransi adalah bisnis perlindungan yang manfaatnya tidak seketika.
Dengan karakteristik ini, mengelola dan mengembangkan industri asuransi juga tak mudah. Yang paling mudah dilihat adalah penolakan dari sebagian masyarakat ketika para pemasar produk asuransi menawarkan produk itu kepada masyarakat. Yang membuka tangan terhadap tawaran itu, umumnya kalangan masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan.
Dalam konteks tantangan seperti itu, Direktur PT Astra Aviva Life (Astra Life) Windawati Tjahjadi berpendapat bahwa memang asuransi harus makin relevan dengan masyarakat. ”Astra Life melakukan strategi dan pendekatan pemasaran yang berbeda. Kami mengomunikasikan pesan positif daripada memberikan rasa takut dan menjual kekhawatiran kepada pelanggan kami. Kami juga mendorong masyarakat Indonesia untuk mencintai hidup, sesuai dengan tagline dan filosofi Astra Life, yaitu Love Life,” ujar Windawati melalui surat elektronik pada Senin (14/8).
Strategi untuk menghindari rasa takut dan kekhawatiran sebagai komoditas itu menjadi masuk akal manakala yang akan dikedepankan adalah relevansi asuransi. ”Prospek bisnis asuransi jiwa sangat menjanjikan karena penetrasinya masih rendah. Prospek produk asuransi jiwa proteksi seharusnya akan makin meningkat sejalan dengan bertambahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan asuransi, baik kesehatan maupun perlindungan jiwa yang lebih terjangkau,” ujarnya.
Supaya makin relevan dengan nasabahnya, Astra Life mendorong keterlibatan nasabah antara lain melalui media sosial. Bahkan, berdasarkan data Social Baker—Social Media Analytics & Performance per 31 April 2017, secara keseluruhan akun media sosial Astra Life berada di peringkat tiga terbesar dengan tingkat keterlibatan peringkat satu di industri asuransi jiwa.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Abra PG Talattov, menilai potensi industri asuransi di Indonesia masih sangat besar. Salah satu indikator adalah total premi bruto industri asuransi di Indonesia yang baru 2,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
”Sedangkan rata-rata di ASEAN 3,8 persen, Singapura dan Malaysia masing-masing sudah 4 persen. Jadi, masih ada ceruk untuk industri asuransi di Indonesia,” kata Abra.
Dari sisi demografi, penduduk usia produktif di Indonesia juga memberi potensi besar bagi industri asuransi. Kontribusi industri asuransi terhadap PDB dalam lima tahun terakhir juga masih datar, di sekitar 0,88 persen.
Abra menuturkan, kinerja industri asuransi secara umum hanya tumbuh 4,73 persen selama setahun pada triwulan II-2017. Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan triwulan I-2017 yang tercatat 5,3 persen dan di triwulan II-2016 yang 8,61 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa industri asuransi secara umum sedang lemah pada awal tahun ini.
Pertumbuhan aset
Menurut Abra, ada faktor yang bisa dihubungkan sebagai penyebab kondisi tersebut. Porsi industri asuransi, misalnya, secara umum masih di asuransi otomotif dan asuransi properti, yakni masing-masing berperan 27 persen terhadap total asuransi. Sementara kinerja kedua sektor itu sedang melemah sehingga berpengaruh terhadap keseluruhan industri asuransi.
Meski demikian, aset industri asuransi jiwa pada posisi Juni 2017 tumbuh 19,7 persen dibandingkan Juni 2016. Pada kurun waktu tersebut aset industri asuransi meningkat dari Rp 363,16 triliun menjadi Rp 434,76 triliun.
Adapun nilai investasi jiwa tumbuh sekitar 21 persen selama setahun, dari Rp 313,02 triliun pada Juni 2016 menjadi Rp 378,89 triliun per Juni 2017. Asuransi jiwa bernilai penting karena berkontribusi 44 persen terhadap total asuransi.
Abra mengatakan, hal menarik di asuransi jiwa, yakni ada pergeseran dari portofolio investasi. Per Juni 2017, porsi terbesar ada di saham, yakni Rp 123,42 triliun atau 32,6 persen terhadap total investasi di asuransi jiwa. Porsi ini naik dibandingkan tahun 2016, yakni 29,18 persen atau Rp 91,35 triliun.
Pada reksa dana sebesar Rp 106,53 triliun (28,1 persen), naik dibandingkan tahun lalu, yakni Rp 85,91 triliun (27,5 persen). Penempatan berikutnya di surat berharga negara (SBN), yakni Rp 61,29 triliun (16,2 persen), naik dibandingkan tahun lalu yang Rp 50,27 triliun (16,06 persen).
Adapun porsi penempatan di deposito 10,3 persen, senilai Rp 39,12 triliun. Porsi deposito di semester sama tahun lalu di 13,59 persen, senilai Rp 42,55 triliun.
Salah satu penjelasan penyebab penurunan porsi penempatan tersebut karena ada pergeseran dari deposito ke saham yang tahun lalu porsinya sekitar 29 persen. ”Asuransi menempatkan di saham dan reksa dana karena keuntungannya paling tinggi. Ini karena mereka ada kewajiban juga untuk memberi keuntungan bagi nasabah,” kata Abra.
Pergeseran portofolio juga tidak lepas dari tantangan asuransi sejak adanya peraturan perundang-undangan terkait Jaminan Kesehatan Nasional dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Asuransi sosial yang diberikan pemerintah dinilai juga menggerus sumber penerimaan atau premi asuransi swasta. Artinya, ada pula perebutan dana asuransi dari masyarakat.
Dibandingkan asuransi jiwa, per Juni 2017 pertumbuhan aset dan investasi asuransi sosial atau BPJS lebih tinggi, yakni masing-masing 23,4 persen dan 25,4 persen. ”Dugaan saya, pekerja yang sudah ikut asuransi sosial atau BPJS cenderung merasa tidak perlu lagi ikut asuransi swasta. Ini menjadi tantangan tersendiri buat asuransi swasta,” katanya.
(A HANDOKO/C ANTO SAPTOWALYONO)