AS Tak Mudah Menekan China
Presiden Donald Trump memerintahkan penyelidikan tentang sebuah peraturan di China, Senin (14/8). Ada peraturan di China yang mengharuskan investor asing menyerahkan teknologi berharga.
Aturan ini berlaku bagi investor asing yang memiliki usaha patungan dengan perusahaan China. Untuk tugas, ini Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer akan memimpin penyelidikan.
Langkah Trump ini didasarkan pada undang-undang di AS, Trade Act of 1974, yang jarang dipakai. Dunia sudah memiliki Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menangani sengketa dagang bilateral.
Seksi 301 dari Trade Act of 1974 ini adalah senjata perdagangan yang terkenal pada dekade 1980-an untuk menekan negara mana saja. Seksi 301 ini memungkinkan seorang Presiden AS mengenakan tindakan unilateral terhadap negara yang dituduh bertindak tidak fair atau tak sesuai hukum dalam perdagangan, menurut versi AS.
Jika AS menemukan kesalahan negara lain, versi AS, salah satu tindakan adalah pengenaan tarif impor. Kubu Republikan dan sebagian komunitas bisnis AS senang pada langkah ini.
Pebisnis AS sudah lama mengeluh tentang peraturan di China terkait perlindungan hak cipta dan kekayaan intelektual. Trump menyebutkan China tidak bertindak berdasarkan hukum dalam perlakuan terhadap perusahaan AS di China.
“Perintah (penyelidikan) ini akan mendalami hukum, kebijakan, praktik dan aksi terkait perlindungan kekayaan intelektual, inovasi serta teknologi di China,” kata Trump.
Lighthizer memiliki waktu setahun untuk meluncurkan investigasi resmi atas tuduhan bahwa China telah mencuri teknologi. Pemerintah AS memperkirakan nilai kekayaan intelektual AS yang dicuri China bernilai 600 miliar dollar AS.
Trump menyebut keputusan yang sudah dia teken itu sebagai “sebuah langkah sangat besar”. Akan tetapi mampukah AS melakukan tekanan pada China?
Akan ditolak
Bagaimana AS melakukan penyelidikan dan memaksa China menerima tim investigasi dari AS? “Saya yakin China akan menolak ini secara formal,” kata Matthew Goodman, penasihat ekonomi di Divisi Asian Economics, Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Jonathan Fenby, analis dari TS Lombard Consultancy, juga menyatakan China tidak tertarik menangani kemelut dagang dengan AS yang sifatnya bersifat jangka pendek.
Harian China Daily, Senin (14/8), menuliskan investigasi itu akan meracuni hubungan kedua negara. “Dengan hubungan ekonomi yang semakin meningkat antara China dan AS, perang dagang tidak akan berhasil dan tidak ada yang menang,” kata jubir Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying.
China sangat tidak suka hubungan bilateral mirip hubungan tuan dan hamba, seperti terjadi antara AS dengan Jepang. Amati kalimat jubir ini yang mengatakan, “Relasi dagang China-AS adalah hubungan setara. Kedua pihak harus mengatasi masalah lewat dialog dan melindungi hubungan ekonomi bilateral yang berkembang.”
Kantor berita China, Xinhua, edisi 13 Agustus 2017, juga menuliskan langkah Trump bertujuan politik, terkait isu Korea Utara. Jubir ini menambahkan bahwa China menolak tekanan AS lewat trik perdagangan, hanya karena AS ingin menekan China terkait isu Korea Utara.
Ditambahkan, AS harus menghormati serta bekerja sama untuk mengatasi dua isu ini secara terpisah. “Tidak baik menggunakan satu alat untuk tujuan menekan.”
Tidak pas
Juga ada masalah dalam legalitas di balik tindakan Trump. Dia melakukan itu berlandaskan undang-undang domestik AS. Dunia sudah memiliki Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyediakan fasilitas untuk penyelesaian sengketa dagang lewat Dispute Settlement Body (DBS).
“Penggunaan hukum domestik membuat dunia menilai AS mengutamakan hukumnya di atas hukum internasional, yang akan memperburuk citra AS di dunia internasional,” kata Zhiqun Zhu, profesor ilmu politik dan hubungan internasional dari Bucknell University.
China pun sudah mengatakan selalu menekankan aspek hukum untuk melindungi hak kekayaan intelektual. China memiliki hukum tersendiri yang berkedaulatan. AS tidak bisa mengatakan begitu saja bahwa hukum domestik China merugikan AS. Ini bukan zaman kolonial lagi dimana negara lain bisa menekan seenaknya.
“AS harus melihat secara obyektif kemajuan ekonomi China lewat inovasi berbasis domestik,” kata Hua. Ini mengisyaratkan, adalah hak setiap negara mengembangkan teknologi dan mendorong inovasi.
AS menuduh China telah mencuri teknologi AS. Akan tetapi sejarah pencurian teknologi (spionase industri) bukan terjadi sekarang saja. AS tidak bisa menghambat inovasi di negara lain demi mempertahankan hegemoni ekonominya.
Lepas dari berbagai isu itu, langkah Trump ini memiliki beberapa dasar, tentu saja versi Trump. Ini termasuk alasan bahwa negara-negara lain telah mengambil lapangan pekerjaan di AS.
China termasuk dalam tuduhan ini. Apakah alasan ini akan berhasil sebagai dasar untuk menekan China?“Tekanan seperti ini tidak akan mampu mengatasi masalah ekonomi AS bahkan dalam jangka panjang memperburuk keadaan di AS,” kata Robert Lawrence Kuhn, pakar tentang China.
“Alasannya adalah ada prinsip-prinsip alamiah ekonomi, ingin Anda hambat lewat pengenaan tarif tinggi,” kata Kuhn.
Pelemahan ekonomi AS yang kalah bersaing dengan China adalah berdasarkan kekuatan ekonomi secara alamiah tetapi hendak dimentalkan lewat pengenaan sanksi dagang. “Hal ini, jika berhasil mungkin akan bisa membantu AS dalam jangka pendek tetapi merugikan AS dalam jangka panjang karena mencegah transformasi industrinya ke tingkat yang lebih berkesinambungan. Ini seperti melangkah mundur, mencoba melindungi sesuatu yang tidak bisa dilindungi dalam jangka panjang,” lanjut Kuhn.
Alasan kehilangan lapangan pekerjaan juga dinilai kurang sahih. “Kehilangan lapangan pekerjaan di AS adalah akibat kegagalan industri AS menyesuaikan diri,” kata Edward Alden, peneliti senior dari Council on Foreign Relations. “Otomasi berarti semakin sedikit pekerja,” demikian salah satu isi buku Alden berjudul “Failure to Adjust".
Kuhn menambahkan AS gagal melakukan pendidikan kembali pada para pekerja yang dipecat akibat otomasi sehingga mereka tidak bisa memiliki pekerjaan baru.
Merugikan konsumen
Jika AS menekan dan barang-barang buatan China tidak masuk untuk dipasarkan lagi, harga-harga produk buatan AS yang lebih tinggi akan membuat konsumen AS menderita.
Menurut Kementerian Perdagangan China, keluarga di AS menghemat 850 dollar AS per tahun. Ini didasarkan pada harga murah berbagai produk buatan China, mulai dari lampu, lilin ulang tahun, sampai perangkap tikus dan lainnya. Produk buatan China telah menyelamatkan banyak keluarga di AS.
Mendag AS Wilbur Ross mengatakan , defisit AS terhadap China mencapai 309 miliar dollar AS per tahun dan memburuk dalam 15 tahun terakhir.
Menjawab ini jubir Kementerian Perdagangan China, Gao Feng, mengatakan defisit AS terhadap China sudah merupakan isu lama. Banyak faktor penyebab defisit ini seperti struktur ekonomi yang berbeda, dengan masing-masing negara fokus pada industri tertentu yang menjadi keunggulannya, hingga terjadinya pembagian tenaga kerja di level internasional.
“China surplus pada industri manufaktur, AS unggul pada pertanian, teknologi. Adalah pengusaha dan konsumen di dua negara yang memutuskan ekspor dan impor,” kata Gao.
Dan jangan lupa, AS harus memahami bahwa sektor jasa harus diperhitungkan dalam neraca pembayaran internasional. “Bagi China, AS adalah sumber defisit terbesar untuk sektor jasa,” kata Xing Houyuan, seorang anggota Komite Ahli di China Council for the Promotion of International Trade.
Turis China misalnya, kini pembelanja terbesar di AS melebihi negara manapun. China juga menjadi pembeli kedua terbesar surat utang negara AS. Investor AS di China telah menikmati keuntungan besar dan terjadi repatriasi keuntungan.
Andai saja korporasi AS membayar pajak dari keuntungan bisnis di China, maka defisit perdagangan AS dengan China akan teratasi, lewat pertambahan penerimaan negara AS.
Namun jangankan korporasi, Trump sendiri pun tidak mau membeberkan reputasi historisnya soal pembayaran pajak.
Jika AS menghukum China, “Maka akan ada balasan dan konsumen serta bisnis di dua negara akan merugi,” lanjut Zhu. Ancaman ini merujuk pada kepentingan investasi AS di China yang telah meraup untung besar.
Stephen A Orlins, Presiden Komite Nasional Hubungan China-AS, mengatakan, AS sudah sejak lama terbiasa mengalami defisit perdagangan dengan Jepang, Korea Selatan dan ASEAN. Jangan salahkan China semata terkait defisit ini.
“Masalah defisit perdagangan AS ini terletak pada AS, seperti tingkat tabungan yang rendah. Jika AS menabung lebih besar maka tidak perlu impor yang besar. Banyak faktor penyebab defisit, tidak melulu akibat China. Ini lebih menjadi masalah domestik AS,” kata Orlins.
Terkait ini, ekonom AS Paul Krugman mengatakan, bertahun-tahun Bank Sentral AS mendorong permintaan (demand) dengan mengenakan suku bunga rendah. Hal ini mendorong konsumsi walau dengan utang. Hal inilah salah satu penyebab defisit perdagangan AS. Kesimpulannya, akan sulit bagi AS menembak China lewat isu perdagangan. (AFP/AP/REUTERS)