logo Kompas.id
EkonomiKesadaran 50 Tahun
Iklan

Kesadaran 50 Tahun

Oleh
· 3 menit baca

Ambil atau pergi. Begitu kira-kira respons pemerintah dalam polemik perundingan empat isu utama dengan PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua. Sampai kini, perundingan belum tuntas dan belum ada tanda-tanda kedua belah pihak sepakat.Keempat isu tersebut adalah kewajiban divestasi 51 persen, perpanjangan operasi, pembangunan smelter, dan skema perpajakan. Freeport, beserta para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) dalam rangka penanaman modal asing, wajib melepas sahamnya kepada peserta Indonesia sampai 51 persen. Freeport juga wajib membangun smelter baru. Perusahaan ini juga diharuskan patuh pada skema perpajakan yang berlaku di Indonesia.Khusus mengenai perpanjangan operasi, dengan status kontrak karya (KK) sekarang, operasi Freeport di Papua habis pada 2021. Pemerintah punya rencana, seandainya diberikan perpanjangan, tidak serta-merta dua kali, masing-masing 10 tahun alias sampai 2041. Tetapi, 10 tahun pertama dan dievaluasi apakah layak untuk 10 tahun kedua. Namun, Freeport ingin perpanjangan diberikan langsung sampai 2041. Investasi puluhan triliun rupiah untuk pengembangan tambang bawah tanah yang mereka rencanakan membutuhkan kepastian. Tak hanya itu, Freeport juga setengah hati dengan skema divestasi 51 persen. Mereka ingin 30 persen saja yang didivestasikan.Mulai dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, sampai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan optimistis bahwa keinginan pemerintah dalam negosiasi dapat terwujud. Luhut menyebut divestasi saham 51 persen adalah harga mati. Tak kurang galak, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengiyakan pertanyaan wartawan apakah pilihannya terhadap Freeport hanya ambil (tawaran pemerintah dalam perundingan) atau pergi (menyerahkan hak kelola tambang di Papua kepada pemerintah).Pada era Sudirman Said menjabat Menteri ESDM, dia memberi sinyal bahwa operasi Freeport bakal diperpanjang dengan syarat Freeport harus tunduk pada keinginan pemerintah. Lebih gamblang adalah penerimaan negara harus lebih besar dari yang sebelumnya.Yang harus disadari Freeport adalah kondisi Indonesia jauh berbeda saat pertama kali Freeport masuk berinvestasi ke Indonesia. Tak adil rasanya, sudah 50 tahun beroperasi di Indonesia, saham pemerintah di Freeport Indonesia hanya 9,36 persen. Sudah setengah abad, negara selaku pemilik sumber daya menjadi pihak minoritas.Namun, ada pendapat bahwa kewajiban divestasi 51 persen hingga tahun ke-10 sejak beroperasi bagi pemegang IUP dan IUPK milik asing membuat investor cemas. Pertambangan yang merupakan bisnis jangka panjang bagaimana mungkin pada tahun ke-10 investornya tak pegang kendali dengan melepas saham mayoritas? Kata salah satu pengamat energi, hanya perusahaan bodoh yang akan melepas kendali mayoritas atas perusahaan tambang yang sangat jelas prospeknya.Ada pula yang bilang, skema KK adalah contoh kecelakaan sejarah sebuah negara mengelola sumber daya alamnya. KK menempatkan posisi perusahaan setara dengan negara pemilik sumber daya alam. Negara bisa digugat lewat Mahkamah Arbitrase Internasional apabila dianggap wanprestasi atas kesepakatan yang ditandatangani dan begitu pula sebaliknya.Penyelesaian melalui arbitrase tak diinginkan kedua belah pihak. Siapa pun pemenangnya, hubungan Indonesia dengan AS, yang terepresentasi kepada Freeport, memburuk. Sejarah bahwa sudah 50 tahun lamanya Freeport turut menikmati kekayaan mineral dari bumi Indonesia tak boleh dilupakan. Perpanjangan operasi bersyarat sepertinya cukup untuk menjadi jalan tengah. (ARIS PRASETYO)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000