logo Kompas.id
EkonomiPemerintah Punya Daya Tawar
Iklan

Pemerintah Punya Daya Tawar

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pilihan untuk tidak memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua, harus menjadi daya tawar pemerintah dalam bernegosiasi. Berdasarkan kontrak, masa operasi Freeport berakhir pada 2021. Pemerintah dan Freeport masih melanjutkan pembahasan tentang empat hal krusial.Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha, dalam bernegosiasi, pemerintah harus memasukkan faktor bahwa operasi Freeport berdasarkan kontrak karya (KK) bakal berakhir pada 2021. Selain itu, perusahaan tersebut juga tidak dapat mengekspor konsentrat jika mempertahankan status operasi KK tanpa mengubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Kedua hal tersebut dapat menjadi daya tawar pemerintah dalam bernegosiasi."Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 di situ diatur kewajiban membangun smelter dikaitkan dengan ekspor konsentrat. Itu pun operasi perusahaan harus berubah menjadi IUPK," kata Satya, Minggu (3/9), di Jakarta.DPR, melalui Komisi VII, lanjut Satya, belum bersikap secara resmi terkait perkembangan negosiasi antara pemerintah dan Freeport. Komisi VII berencana meminta penjelasan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengenai perkembangan itu. Rencana rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang dijadwalkan pertengahan pekan lalu dibatalkan.Sebelumnya, dalam konferensi pers, Selasa (29/8), di Jakarta, pemerintah mengklaim ada kesepakatan final dengan Freeport. Dalam kesepakatan itu, Freeport bersedia melepas sahamnya sampai 51 persen kepada Indonesia, bersedia membangun smelter, patuh pada skema perpajakan yang berlaku, dan kesepakatan perpanjangan operasi. Namun, belum ada keputusan mengenai tahapan divestasi dan nilai saham yang dilepas. Pola skema perpajakan juga belum matang.Poin kritisKoordinator Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, hasil kesepakatan sementara antara pemerintah dan Freeport masih menyisakan sejumlah poin kritis. Menurut dia, hal yang akan alot dalam kesepakatan itu adalah penentuan harga saham yang hendak dilepas Freeport. Pengalaman tahun 2015 menunjukkan terjadi kebuntuan mengenai harga saat Freeport menawarkan 10,64 persen saham mereka kepada pemerintah."Harga saham yang ditawarkan Freeport terlampau mahal berdasarkan hitungan pemerintah. Itu sama saja pemerintah membiayai ongkos pembangunan smelter yang menjadi kewajiban Freeport. Lagi pula, mengapa pemerintah ngotot soal divestasi 51 persen? Sebab, pada 2021 kontrak Freeport berakhir dan semua cadangan mineral kembali menjadi milik negara," ujar Maryati.Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, Ahmad Redi, menambahkan, klausul KK yang ditandatangani Freeport dengan Pemerintah Indonesia pada 1991 mengharuskan perusahaan tersebut melepas saham hingga 51 persen pada 2011. Namun, kewajiban itu belum juga terealisasi sampai kini. Begitu pula kewajiban membangun smelter belum jelas kelanjutannya."Perundingan tersebut seolah-olah mengukuhkan bahwa Freeport tetap mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia dengan asas manfaat yang rendah bagi bangsa," kata Redi.Dalam laman Kementerian ESDM yang memuat pernyataan Jonan tentang opsi tidak memperpanjang kontrak dijelaskan, hal tersebut memungkinkan. Namun, perlu masa transisi yang diwujudkan melalui divestasi saham 51 persen. Transisi itu diperlukan dengan alasan teknis, yakni tambang bawah tanah yang dioperasikan Freeport di Timika, Papua, terbilang kompleks.Hingga 50 tahun Freeport beroperasi di Papua, saham Pemerintah Indonesia di perusahaan tambang penghasil emas, tembaga, dan perak itu hanya 9,36 persen. (APO)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000