Taksi Aplikasi, Pemerintah Terus Tampung Masukan Masyarakat
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, terus mencari dan menampung masukan untuk membuat aturan baru mengenai angkutan berbasis aplikasi. Aturan baru diperlukan setelah Mahkamah Agung membatalkan 14 poin dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 26 Tahun 2017 pada 1 Agustus lalu.
”Kami terus mencari masukan dari masyarakat, tim legal, dan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan taksi aplikasi,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Darat Hindro Surahmat di Jakarta.
Aturan baru itu diperlukan karena, mulai 1 November nanti, 14 poin dalam PM 26 Tahun 2017 itu sudah tidak berlaku. Padahal, taksi aplikasi harus diatur sebagaimana juga moda transportasi lainnya karena menyangkut keselamatan transportasi.
”Harapannya, kami bisa merumuskan solusi terbaik, yang mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, baik pengusaha taksi konvensional, taksi online, maupun kebutuhan masyarakat dalam bermobilisasi,” kata Hindro.
Saat ini Kemenhub sedang melakukan beberapa langkah, yaitu konsolidasi dengan internal kementerian, meminta pendapat hukum, serta menghimpun masukan dari masyarakat dan para pemangku kepentingan. Di sisi lain, peran pemerintah daerah dibutuhkan untuk menjaga situasi tetap kondusif sambil menunggu diterbitkannya payung hukum baru.
”Jika nantinya regulasi baru yang diformulasikan oleh Kemenhub sudah jadi, saya minta semua pihak sepakat untuk mengikuti peraturan tersebut,” kata Hindro. ”Aturan yang baru akan mengakomodasi kepentingan semua pihak, bukan kepentingan kelompok atau perseorangan, demi kepentingan transportasi nasional,” lanjutnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Hukum dan Humas Dewan Transportasi Kota (DKT) DKI Jakarta Ellen Tangkudung juga menegaskan bahwa taksi aplikasi harus diatur.
”Taksi aplikasi itu harus diatur. Di negara mana pun, hal itu diatur. Sekarang ini taksi aplikasi memang masih bebas, tetapi lama-kelamaan jika tidak diatur keadaannya menjadi tidak sehat,” kata Ellen.
Dia mengatakan, dengan tidak diaturnya taksi aplikasi, keadilan berbisnis tidak tercipta. ”Mungkin saat ini orang masih melihat taksi aplikasi membuka kesempatan orang untuk berbisnis tanpa aturan yang ketat. Lalu, di mana keadilan bagi taksi konvensional yang bisnisnya sangat diatur oleh pemerintah,” ujar Ellen.
Ellen berharap aturan baru yang sedang dipersiapkan pemerintah akan lebih kuat dan memenuhi kepentingan semua pihak sehingga tidak mudah lagi dibatalkan oleh MA. Hindro menambahkan, pembatalan 14 poin PM 26 Tahun 2017 sebenarnya juga berdampak pada operator taksi aplikasi.
”Karena dengan pencabutan peraturan itu taksi aplikasi tidak mempunyai dasar hukum untuk beroperasi,” katanya.
Christiansen Wagey dari Asosiasi Driver Online (ADO) berharap pemerintah membuat aturan yang melindungi pelaku usaha individu dan konsisten terhadap aturan yang ditetapkan.
”Secara substansi kami sudah siap melaksanakan PM 26 Tahun 2017. Sebenarnya aturan ini sudah paling tepat untuk dijalankan. Kami mendukung pemerintah untuk menyusun peraturan setelah putusan MA ini demi kebaikan semua pihak. Kami sepakat untuk dibuat aturan lebih lanjut. Namun, seharusnya yang diatur tidak hanya pelaku usaha angkutannya, perusahaan aplikasinya pun harus diatur,” tutur Christiansen menegaskan.