JAKARTA, KOMPAS — Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia berkomitmen mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menggenjot industri properti. Terkait hal itu, REI meminta pemerintah merelaksasi aturan pembiayaan perumahan.
Demikian sebagian hasil Rapat Kerja Nasional REI 2017 yang berlangsung di Indonesia Convention Exhibition, BSD City, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (15/9). Industri properti nasional dinilai sedang menghadapi tantangan berat dalam beberapa tahun terakhir dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional. Perlambatan pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap pelemahan pertumbuhan industri properti.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengemukakan, pelonggaran pembiayaan perumahan yang diminta antara lain penurunan tingkat suku bunga kredit, meliputi kredit pemilikan rumah (KPR) untuk segmen menengah bawah dan kredit konstruksi untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Saat ini suku bunga kredit konstruksi di kisaran 12 persen per tahun dan diharapkan turun menjadi di bawah 10 persen.
Selain itu, pemerintah diharapkan tetap memberlakukan pajak final untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun perbankan diminta menaikkan rasio nilai kredit bank terhadap aset (LTV) dari 85 persen menjadi 90 persen. "Relaksasi pembiayaan ini untuk mendorong kebangkitan properti," ujar Soelaeman.
Per triwulan II-2017, sektor properti tumbuh 3,8 persen dalam setahun, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,01 persen. Tahun 2013, pertumbuhan properti menembus 8,9 persen. "Idealnya, sektor properti setidaknya tumbuh setara dengan pertumbuhan ekonomi nasional," kata Artur Batubara, Wakil Ketua Umum REI Bidang Kerja Sama Investasi.
Sementara itu, masih ada 11,4 juta keluarga Indonesia yang hingga kini belum bisa mengakses kepemilikan rumah. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen di antaranya merupakan pekerja sektor informal yang kesulitan mengakses kredit perbankan karena dianggap tidak layak bank. Pemerintah diharapkan mendorong sistem KPR yang menyentuh sektor informal.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman yang dimintai tanggapan mengatakan, ketentuan BI sudah memberikan kelonggaran untuk LTV. "Kalau ada usul-usul baru tentu perlu dikaji baik-baik. Pelaku usaha di industri properti dapat diajak diskusi," katanya.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengemukakan, ke depan sedang disiapkan perbaikan terhadap LTV menggunakan prinsip spasial. "Kami akan melihat kondisi dan data-data daerah mana yang membutuhkan dorongan LTV lebih besar," katanya, dalam pembukaan Indonesia Future City and REI Mega Expo 2017, Kamis.
Pekerja informal
Sementara itu, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menggarap kerja sama pembiayaan perumahan dengan perusahaan rintisan untuk membidik pekerja dengan penghasilan tidak tetap. Potensi pekerja berpenghasilan tidak tetap semakin berkembang, seiring pertumbuhan usaha rintisan dan usaha kecil menengah.
Direktur BTN Oni Febriarto Rahardjo mengemukakan, pada Maret 2017, kerja sama dilakukan dengan perusahaan Go-Jek Indonesia untuk menyediakan KPR bagi mitra pekerja, yakni pengemudi yang tidak memiliki slip penghasilan bulanan. Skema angsuran KPR dilakukan dengan memotong penghasilan harian mitra pengemudi dari perusahaan layanan ojek dan taksi berbasis aplikasi itu. Kerja sama serupa tengah dijajaki dengan Grab dan Tokopedia.
"(Pembiayaan KPR) untuk Go-Jek menjadi bisnis percontohan kita. Kalau prospeknya bagus akan dilanjutkan dengan perusahaan rintisan lain," kata Oni.
Kepala Divisi KPR Bersubsidi BTN Hirwandi Gafar mengemukakan, masih ada persoalan terkait pembiayaan kredit bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yakni ketepatan sasaran. "Pemerintah seharusnya punya data debitor," kata Hirwandi. (LKT)