JAKARTA, KOMPAS — Pengguna tidak setuju dengan rencana Bank Indonesia yang akan menerbitkan regulasi mengenai biaya isi ulang uang elektronik. Dengan adanya biaya tambahan, pengguna merasa keberatan menggunakan dan mengisi uang elektroniknya.
Regulasi yang akan dikeluarkan BI tersebut semula didesain untuk menambah dan memperluas ketersediaan infrastruktur nontunai serta pemeliharaan infrastruktur agar bisnis berkelanjutan (Kompas, 18/9).
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, adanya biaya isi ulang justru akan bertentangan dengan upaya mewujudkan transaksi bebas uang tunai (cashless society). Apabila tujuan biaya isi ulang ini untuk ketersediaan infrastruktur, itu tidak dibebankan kepada konsumen. ”Ini, kan, BI yang mendorong adanya cashless. Seharusnya BI juga yang menanggung biaya infrastruktur,” ujar Tulus saat dihubungi Kompas, Senin (18/9).
Sisca Susilo (38), pegawai swasta di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, hampir seminggu sekali melakukan isu ulang uang tunai. Dalam sekali isi ulang, biasanya Sisca akan menambahkan saldo Rp 500.000. ”Kalau beda bank, saya enggak masalah (dikenai biaya). Tetapi, kalau untuk bank yang sama, saya keberatan,” ujarnya. Ia merasa dengan ada biaya isi ulang akan menambah pengeluarannya setiap bulan.
Sisca sudah sekitar lima tahun menggunakan uang elektronik. Sejak saat itu, semua transaksi, seperti membeli tiket kereta, belanja di swalayan, membayar makanan di restoran, membayar parkir, hingga membayar tiket di arena permainan anak, dilakukan dengan uang elektronik. ”Saya juga lebih memilih membekali anak saya kartu Flazz daripada uang tunai. Selain cashless, juga lebih higienis dan praktis,” ujar Sisca.
Hal serupa diutarakan Teddy Parengkuan (63), warga Ciputat. Setiap hari ia menggunakan uang elektronik sebagai akses tiket perjalanan kereta rel listrik (KRL). Pada awal pembelian kartu, ia sudah dikenai biaya Rp 25.000. Sementara untuk biaya isi ulang juga dibatasi minimal senilai Rp 20.000. ”Biaya itu cukup besar untuk kalangan menengah ke bawah. Kadang kalau hanya punya tunai Rp 30.000, jadi berat untuk isi ulang,” kata Teddy yang ditemui di Stasiun Palmerah.
Rosa Ayu (33), pegawai swasta yang sering menggunakan jasa tol, juga tidak setuju jika harus dikenai biaya tambahan saat melakukan isi ulang uang elektronik. ”Biasanya seminggu isi Rp 100.000. Kalau ada biaya tambahan Rp 2.000-Rp 5.000 tiap isi ulang, kan, jadi lumayan. Mungkin kalau benar berlaku, ya, setiap top up langsung dalam jumlah besar,” ujarnya. (DD04)