Aturan Penerapan Biaya Pengisian Uang Elektronik Direspons Masyarakat
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia akhirnya memutuskan untuk membebankan biaya kepada pengguna uang elektronik. Kebijakan skema harga itu ditetapkan berdasarkan mekanisme batas atas yang bertujuan untuk perlindungan konsumen dan kompetisi yang sehat. Sebagian masyarakat tidak mempermasalahkan, sedangkan sebagian lainnya menyayangkan peraturan yang dinilai memberatkan konsumen tersebut.
Regulasi BI berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) ini diterbitkan 20 September 2017 dan dapat diakses melalui situs BI (http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_197217.aspx). Dalam aturannya, BI menetapkan skema harga untuk transaksi pengisian ulang uang elektronik.
Bagi pemilik yang menggunakan rekening bank penerbit kartu, pengisian lebih dari Rp 200.000 akan dikenai biaya maksimal Rp 750. Jika pengisian ulang dilakukan dengan menggunakan bank lain, pengguna akan dikenai biaya maksimal Rp 1.500.
Dengan aturan ini, masyarakat akan dibebankan biaya jika ingin menggunakan uang elektronik. Ada yang tidak setuju karena dinilai tidak adil jika membebankan biaya dalam transfer internal. Namun, ada pula yang tidak mempermasalahkan peraturan ini karena tak terlalu sering menggunakan uang elektronik.
Fenty Nurul (27), pegawai swasta, tidak setuju dengan aturan ini. Menurut dia, pembebanan biaya dalam transfer internal dinilai tidak adil karena sama seperti transfer dalam rekening.
”Saya biasa mengisi Rp 200.000 per bulan sehingga keberatan dengan aturan ini. Uangnya diambil dari rekening saya, berarti sama saja dengan mengalihkan uang dari rekening ke alat pembayaran. Kalau untuk antarbank tidak masalah karena biasanya juga ada biaya transfer,” ujar Fenty. Menurut dia, jika ada biaya bagi pengisian uang elektornik, lebih baik dirinya menggunakan pembayaran dengan uang tunai.
Fauziah Sholihah (26), pegawai bank swasta, mengatakan, seharusnya tidak ada biaya tambahan yang diterapkan oleh bank karena pemerintah mendorong gerakan nontunai. ”Saya masih belum menggunakan uang elektronik selain transjakarta dan KRL. Jadi, saya tidak sering mengisi kartu (uang elektronik),” tuturnya. (DD12)