Geliat pembangunan infrastruktur saat ini menyuntikkan harapan bagi pertumbuhan ekonomi masa mendatang. Momentum untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur pun tak bisa ditunda. Namun, menjadi persoalan bagaimana proyek-proyek prioritas pembangunan ini dirancang dan dikelola.
Lebih jauh dari itu pembangunan infrastruktur juga menjadi jendela yang memperlihatkan tata kelola pemerintahan. Sejak awal kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo sudah menunjukkan komitmen memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Anggaran infrastruktur meningkat signifikan dari Rp 154,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 269,1 triliun pada 2016 dan mencapai Rp 401,1 pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017.
Semakin dinilai penting suatu proyek pembangunan, tentu semakin perlu dipastikan proyek itu ditangani dengan tata kelola yang baik. Dengan begitu, setiap tenggat waktu penyelesaian proyek merupakan hasil kalkulasi detail segenap aspek, mulai dari kelayakan teknis hingga kesiapan finansial.
Hari ini, semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, bergelut dalam megatren global yang dikenal dengan singkatan volatility, uncertainty, complexity, ambiguity (VUVA). Dunia bergerak semakin dinamis, rentan stabilitas, diwarnai ketidakpastian, kompleksitas masalah, dan sikap mendua para pemangku kepentingan.
Digitalisasi yang mengakselerasi penggunaan teknologi, media, dan data bukan hanya berdampak pada pelaku ekonomi, melainkan juga pengambilan kebijakan publik dan efektivitas pemerintahan. Pada saat bersamaan, diperlukan kecepatan pengambilan keputusan sekaligus kompetensi tinggi.
Di balik setiap keputusan politik terdapat risiko kompleksitas yang ditanggung sistem birokrasi. Indonesia sudah lama dihantui korupsi dan kelambanan akibat rigiditas tubuh birokrasi. Namun, sistem pemerintahan, tak bisa tidak, juga harus bekerja dengan mengandalkan kompetensi dan integritas birokrasi.
Dibutuhkan proses, tahapan, dan waktu untuk menjalankan keputusan politik dengan kompetensi dan integritas terjaga. Pemerintah dituntut mengelola ekspektasi, tetapi juga mengelola paradoks antara birokrasi dan standar prosedur di satu sisi serta adaptasi dan fleksibilitas pada sisi lain.
Karena itu, sampai pada batas tertentu percepatan bisa dan perlu dilakukan, tetapi bukan berarti dengan meniadakan batas. Perencanaan, skenario, dan evaluasi justru perlu terus diperkuat.
Reaksi publik yang terekam setiap hari, antara lain, melalui media sosial mendorong pemerintah sesegera mungkin menunjukkan hasil kasatmata. Namun, perlu pula disadari kepentingan jangka pendek, seperti disebut Bilgin & Morton (2004) kerap menjadi musuh penerapan strategi komprehensif.
Proyek infrastruktur adalah pembangunan yang berimplikasi jangka panjang. Proyek-proyek ini memerlukan tata kelola baik untuk menjamin efisiensi dan kualitas. Dibutuhkan pula kalkulasi akurat untuk penetapan target pembangunan sekaligus mengukur sumbangan proyek itu bagi masa depan perekonomian.
Fenomena
Saat ini justru terjadi beragam fenomena yang memunculkan kekhawatiran proyek-proyek infrastruktur tidak sepenuhnya dikembangkan melalui desain kebijakan solid yang memperhitungkan berbagai aspek pada semua sektor terkait.
Salah satu gejala yang mengkhawatirkan adalah banyaknya peraturan berumur pendek, direvisi atau diganti hanya dalam hitungan bulan, bahkan hari. Juli lalu, misalnya, diterbitkan peraturan menteri tentang pengawasan pengusahaan kegiatan usaha sektor energi dan sumber daya mineral serta peraturan menteri soal pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Kedua peraturan ini hanya berumur 20 hari dan 25 hari, kemudian diterbitkan revisinya.
Indikator lain, ada target proyek yang berulang kali dipangkas. Contohnya, pada Mei 2015, Presiden Jokowi meluncurkan proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) hingga akhir 2019. Target proyek ini dipangkas menjadi 19.000 MW pada November 2016.
Estimasi kebutuhan listrik ataupun kesulitan pembiayaan yang menyebabkan proyek tersendat dan target dipangkas sebenarnya bukan hal tiba-tiba yang tidak bisa diperhitungkan.
Di sisi lain, tingkat keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur belum sesuai harapan. Sementara badan usaha milik negara (BUMN) mulai kepayahan diposisikan sebagai tulang punggung pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Semakin terbaca pola di mana jalur prosedur dipotong melalui penugasan pada BUMN. Akselerasi pun dilakukan pemerintah dengan meminta BUMN menalangi lebih dulu pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur.
Model talangan oleh BUMN ini juga berlaku pada sektor-sektor lain, seperti subsidi pupuk oleh PT Pupuk Indonesia (Persero) dan PT Pertamina (Persero) jika harga premium lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah.
Kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur pada 2015-2019 diperkirakan Rp 4.796 triliun. Dari jumlah itu, hanya sekitar 40 persen yang bisa ditanggung oleh APBN. Selebihnya, diharapkan dapat dibiayai BUMN, pemerintah daerah, dan swasta.
Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim saat berkunjung ke Jakarta Juli lalu mengingatkan, tanpa investasi signifikan dari swasta, Indonesia tak dapat mengatasi ketertinggalan infrastruktur. Kolaborasi lintas sektor, termasuk antara pemerintah dan swasta, adalah prasyarat yang harus semakin diperkuat.
Tak sebatas dalam bentuk penyertaan modal, dinamika global saat ini membuat perencanaan dan implementasi kebijakan pun tidak bisa lagi ”dimonopoli” satu orang, satu institusi, atau satu sektor. Kolaborasi menjadi jalan memobilisasi sumber daya berbagai pihak.
Kolaborasi bisa dipandang sebagai tambahan kompleksitas yang mesti dijalin dengan kalkulasi matang. Namun, kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat yang efektif juga akan membuahkan percepatan pertumbuhan yang diharapkan. Cepat, bukan berarti terburu-buru. ***