asih soal gaya hidup, perilaku, dan pencapaian, kini masyarakat kian gemar berwisata. Pameran perjalanan yang digelar maskapai penerbangan, bank, dan pelaku usaha nyaris selalu ramai dipenuhi pengunjung. Mereka berburu tiket perjalanan wisata, hotel, dan kebutuhan berwisata. Umumnya, masyarakat membeli tiket jauh-jauh hari sebelum tanggal keberangkatan agar bisa mendapat harga yang lebih murah. Perburuan ini berujung pada satu hal, yakni berwisata sekaligus menunjukkan eksistensi. Eksistensi ditunjukkan melalui interaksi yang semakin marak di media sosial. Berfoto di lokasi wisata menjadi salah satu bentuk eksistensi itu.
Mengacu pada Hierarki Maslow, ada tataran esteem needs atau kebutuhan akan penghargaan. Tataran di bawah puncak piramida pada Hierarki Maslow ini menunjukkan keinginan untuk dihargai atas pencapaian yang sudah diraih seseorang. Kelas menengah di Indonesia diperkirakan ada di tataran ini. Pencapaian itu ditunjukkan, misalnya, dengan bepergian ke tempat-tempat wisata yang ditunjukkan kepada teman-temannya atau orang-orang yang mengenalnya melalui tayangan foto dan video di media sosial.
Beralih
Tak ada yang salah dengan menikmati hidup dengan cara berwisata dan beralih jenis makanan yang dikonsumsi. Namun, belanja untuk gaya hidup ini tak berarti menambah belanja yang sudah dilakukan sebelumnya. Belanja yang selama ini dilakukan berkurang, kemudian dialihkan ke kebutuhan lain untuk mendukung wisata dan konsumsi yang berubah itu. Maka, jika ada keluhan pengusaha ritel mengenai pertumbuhan konsumsi masyarakat yang berkurang, bisa jadi karena masyarakat mengalihkan sebagian belanjanya ke kebutuhan lain yang dirasa sudah sesuai dengan gaya hidupnya saat ini.
Hal ini antara lain tecermin dari data simpanan masyarakat di bank yang pertumbuhannya konsisten di atas pertumbuhan kredit. Padahal, setidaknya hingga tiga tahun lalu, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan lebih tinggi daripada simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK). Menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan DPK pada Januari-Juli 2017 bervariasi, tetapi berkisar 9,2-11,2 persen per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan kredit pada periode yang sama berkisar 7,8-9,5 persen. Masyarakat menyimpan dana di bank untuk keperluan yang sudah direncanakan sebelumnya. Selain itu juga untuk berjaga-jaga agar kebutuhan dana mendadak dapat terpenuhi.
Survei Konsumen Bank Indonesia pada Agustus 2017 menunjukkan, porsi pendapatan responden rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi turun 0,2 persen menjadi 63,8 persen. Adapun pembayaran cicilan pinjaman terhadap pendapatan turun 0,3 persen menjadi 15,1 persen. Sementara porsi tabungan terhadap pendapatan meningkat 0,5 persen menjadi 21,1 persen. Survei bulanan ini dilakukan BI terhadap lebih kurang 4.600 responden di 18 kota di Indonesia.
Namun, pengeluaran yang berubah dari belanja barang konsumsi menjadi wisata memiliki konsekuensi tersendiri. Menilik Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis BI, peningkatan jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke luar negeri berdampak terhadap peningkatan pembayaran jasa perjalanan. Pembayaran jasa perjalanan, artinya ada devisa yang melayang keluar dari Indonesia. Pada triwulan I-2017, pembayaran jasa perjalanan Indonesia sebesar 1,732 miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat menjadi 1,995 miliar dollar AS pada triwulan II-2017.
Sebaliknya, penerimaan jasa perjalanan–dari wisatawan yang berwisata ke Indonesia—turun dari 3,138 miliar dollar AS di triwulan I-2017 menjadi 2,823 miliar dollar AS pada triwulan II-2017. Memang jasa perjalanan masih surplus. Namun, jika kondisi ini dibiarkan, surplus bisa semakin tertekan.
Kondisi ini memang bukan beban masyarakat. Pemerintah yang mestinya bisa mencari cara mendongkrak surplus jasa pembayaran. Pemerintah memang sudah berupaya menarik wisatawan dengan membebaskan visa kunjungan bagi warga 169 negara ke Indonesia. Namun, rupanya Indonesia masih perlu meningkatkan daya tarik agar wisatawan tinggal lebih lama dan berbelanja lebih banyak di Indonesia.
Konsumsi
Kondisi masyarakat yang mengerem konsumsi, jika berlangsung lama, akan berdampak terhadap laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Sejauh ini konsumsi rumah tangga memang masih berperan penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi triwulan II-2017 sebesar 5,01 persen. Pengeluaran konsumsi rumah tangga menyumbang 2,65 persen atau lebih dari separuh dari pertumbuhan PDB triwulan II-2017. Sumbangan pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dominan ini sudah berlangsung lama.
Pergeseran belanja masyarakat juga bisa berdampak terhadap sektor lain, yakni industri. Jika serapan produk konsumsi berkurang, maka produksi bisa tertekan. Lebih jauh, pendapatan industri akan berkurang. Jika ini terjadi secara terus-menerus, dampaknya bisa menyentuh sisi ketenagakerjaan dan sisi perpajakan. Padahal, penyerapan tenaga kerja merupakan isu krusial di tengah rasio serapan yang makin rendah untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi.
Adapun pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tahun ini, pendapatan ditargetkan Rp 1.714 triliun. Dari jumlah itu, sebesar Rp 1.472 triliun di antaranya merupakan penerimaan dari pajak. Jika penerimaan tak optimal, maka belanja negara pun bisa tak optimal.
Pencapaian masyarakat dalam tataran kehidupan ternyata tak bisa dipandang sebelah mata. Pencapaian itu berdampak terhadap banyak hal, termasuk kondisi perekonomian makro Indonesia.