Menjemput Rezeki dari Ujung Jari...
KEMAJUAN teknologi membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah, termasuk dalam hal memasarkan produk. Tinggal pasang di internet melalui gawai, iklan sudah menyebar ke seantero negeri. Sekali usap layar, rezeki sudah bisa dijemput.
”Pagi ini ada pesanan melalui pesan Whatsapp. Pelanggan dari Jakarta meminta 15 dus Selendang Semanggi agar segera dikirim melalui kurir,” ujar Aminah (39), pemilik usaha Pecel Semanggi Instan, Rabu (27/9), di Surabaya.
Media sosial menjadi salah satu tempat beriklan bagi Aminah. Sejak 2015, dia menjual Pecel Semanggi Instan melalui Instagram dan Bukalapak. Hasilnya cukup memuaskan. Lebih dari 200 dus Selendang Semanggi dipesan konsumen. Pemesannya tak hanya dari Surabaya, tetapi juga dari Jakarta, Bandung, Bali, serta kota-kota di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.
”Saya tidak memasang iklan di e-dagang lain karena takut tidak mampu memberikan pelayanan maksimal. Terkadang, pelanggan setia juga memesan langsung melalui pesan singkat Whatsapp karena saya mencantumkan nomor yang bisa dihubungi,” tutur peraih penghargaan Best Culinary Bisnis Pahlawan Ekonomi tahun 2015 dari Pemerintah Kota Surabaya itu.
Firman Asyhari (50), pemilik usaha Batik Teyeng, mengatakan, untuk menjual produknya berupa kain batik bercorak isian yang berasal dari karat besi, perlu dilakukan promosi secara berkala. Promosi harus dia lakukan mengingat produknya tergolong unik dan belum terlalu akrab di telinga masyarakat.
Baginya, salah satu cara promosi adalah dengan mengikuti pameran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sejumlah kota. Namun, ia hanya berkesempatan mengikuti pameran dua kali dalam setahun untuk mengenalkan produknya karena minimnya undangan bergabung.
Menyadari adanya tantangan itu, ia menggencarkan promosi lewat media sosial, seperti Instagram dan Facebook, tak lama setelah usahanya dirintis pada 2013. ”Hanya perlu modal internet di rumah dan ponsel sudah bisa menjangkau banyak orang,” ucap Firman.
Tentu buah dari perjuangannya tak langsung dirasakan secara instan. Meski gencar berpromosi lewat gawainya, ia hanya mampu menjual 4 kain batik teyeng dalam sebulan pada 2013. Namun, saat ini, ia bisa menjual setidaknya 150 kain batik teyeng setiap bulan.
Hanya perlu modal internet di rumah dan ponsel sudah bisa menjangkau banyak orang.
Sementara bagi Adi Rachman, pemilik Kebab Kebudd, media sosial membuat pemasaran produknya naik hingga 15 kali lipat. Meski tak memiliki gerai, konsumennya tersebar di 14 kota, seperti Surabaya, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Samarinda, dan Balikpapan. Penjualan melalui reseller yang berjumlah 200 orang, yang tersebar di kota-kota tersebut.
Bermodalkan ponsel pintar, jaringan internet, kreativitas, dan uang sekitar Rp 5 juta, pada 2013 Adi memutuskan menjual kebab mini cepat saji itu lewat media sosial, yakni Twitter dan Blackberry Messenger.
”Dengan berjualan melalui media sosial, pengeluaran yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Namun, dampaknya sangat besar karena promosi bisa dilakukan secara gratis dan bisa dilihat banyak orang dalam waktu bersamaan,” ujar ayah satu anak itu.
Strategi pemasaran yang baru tersebut, menurut Adi, perlu disertai dengan inovasi produk. Tak hanya menjual kebab rasa daging sapi, ia juga berinovasi dengan menawarkan tujuh rasa lain, yakni durian, buah-buahan, cokelat durian, ayam teriyaki, ayam lada hitam, tuna, dan sapi bumbu balado.
Strategi pemasaran yang baru perlu disertai dengan inovasi produk.
Seiring dengan perkembangan teknologi, pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, itu beralih menggunakan Facebook dan Instagram untuk mempromosikan Kebab Kebudd. Di akun Instagram @kebabkebuddpusat, calon pembeli bisa melihat berbagai unggahan, termasuk kuis atau permainan berhadiah.
Di salah satu unggahan, misalnya, pengikut akun mendapat pertanyaan tentang asal muasal kebab. Jika tertarik mengikuti kuis itu, para pengikut diminta melakukan sejumlah syarat, antara lain memberi tanda suka (like) pada unggahan kuis. Kemudian, pengikut akun juga diminta memasang tanda pagar #kebabkebudd saat menjawab.
Viral
Adi menuturkan, kuis yang diselenggarakan pada Senin hingga Sabtu itu selalu diikuti puluhan orang. Pemenang kuis akan menerima dua kemasan Kebab Kebudd. Foto pemenang pun akan diunggah ke akun Instagram Kebab Kebudd.
”Penyelenggaraan kuis adalah cara untuk berinteraksi dengan pelanggan. Keaktifan pelanggan mengikuti kuis juga bisa membantu memviralkan Kebab Kebudd,” ujar pemilik gelar juara ke-2 One in Twenty Movement 2014 serta pemenang Wirausaha Muda Mandiri 2015 itu.
Terknologi juga digunakan Diah Arfianti (38) untuk mengubah citra kue kering. Nastar, putri salju, dan kastengel yang identik dengan sajian istimewa pada hari raya, seperti Lebaran, itu kini laku pada hari biasa. Makanan musiman tersebut bisa dinikmati sepanjang tahun tanpa harus menunggu hari raya tiba. Setiap hari, laman Facebook miliknya tidak pernah sepi dari unggahan pengantaran kue kering dengan pembelinya.
Usahanya mengenalkan kue kering sejak 2011 kini membuahkan hasil. Perlahan tetapi pasti, teman-teman Facebook-nya kini percaya bahwa kue kering selalu diminati sepanjang tahun. ”Saya berusaha mengubah citra kue kering yang biasanya hanya laku saat Lebaran. Ngapain harus nunggu lama sampai Lebaran kalau ingin menikmati kue kering,” kata pemilik merek Diah Cookies yang pernah menyabet gelar juara Industri Rumahan Pahlawan Ekonomi 2016 tersebut.
Alumnus Sekolah Menengah Kejuruan Pariwisata Satya Widya, Surabaya, bidang perhotelan itu menggunakan media sosial Facebook untuk memasarkan produknya. Diah mengikuti pelatihan Pahlawan Ekonomi dari Pemerintah Kota Surabaya untuk mengembangkan usaha. Diah belajar banyak hal, mulai dari pengemasan, pemasaran, hingga pembuatan citra dan merek kue kering buatannya.
”Pemasaran menjadi lebih tepat sasaran karena saya belajar mengenai segmentasi jualan melalui media sosial. Setiap kue laku, saya mengunggah foto ketika cash on delivery (COD) dan komentar pembeli terhadap kue Diah Cookies. Setiap laku, saya unggah fotonya di Facebook untuk membangun citra bahwa kue kering saya laku setiap hari,” tuturnya.
Pahlawan Ekonomi
Agar iklan di media sosial makin menarik, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menggelar Program Pahlawan Ekonomi yang salah satu materinya adalah pengemasan.
Pelaku UMKM diajari memoles kemasan produk agar pembeli bisa tergoda setelah melirik kemasannya. Meski rasanya enak, bisa saja produk itu kalah bersaing dengan produk sejenis di pasar lokal. Penyebabnya, kemasan produk itu biasa-biasa saja. ”Dari pandangan pertama saja tidak menarik,” kata Risma.
Oleh karena itu, sejak tahun 2014, Risma menggandeng anak-anak muda untuk membuat desain dan merek bagi produk UMKM di Kota Surabaya. Tujuannya, menciptakan daya tarik dari kemasan dan merek produk. Merek dan desain kemasan yang menarik dan sesuai selera pasar tentu akan menarik minat pembeli. Pada akhirnya, produk UMKM yang berdaya tarik itu akan mampu bersaing melawan produk industri besar.
”Bungkus atau kemasan itu jiwa dari produk. Konsumen tertarik pada pandangan pertama, ya, kemasannya dan isinya berkualitas. Sekarang, tak kurang dari 5.000 UMKM sudah naik kelas, bahkan ada yang sudah ekspor,” ucap Risma.
Sejak Program Pahlawan Ekonomi dilakukan pada 2010, pelaku UMKM yang terlibat dari 89 orang kini meningkat hingga 7.000 orang. Beberapa pelatihan yang diberikan antara lain mengenai cara pembuatan produk, pengemasan, pemasaran di media sosial, dan pengelolaan keuangan.
”Sekarang ada 3.000 peserta Pahlawan Ekonomi yang menggunakan transaksi digital. Mereka melek internet sehingga pemasarannya bisa menembus batas wilayah. Pemkot Surabaya terus mendorong UMKM Pahlawan Ekonomi menangkap semangat Go Global Go Digital Go Financial,” tutur Risma.
Agus Wahyudi dari Bagian Hubungan Masyarakat Program Pahlawan Ekonomi menyebutkan, Program Pahlawan Ekonomi bisa diikuti semua perempuan yang memiliki KTP Kota Surabaya. Setiap Sabtu-Minggu pukul 10.00-15.00, sekitar 100 orang mengikuti pelatihan di Kaza City.
Pelatihan dibagi dalam tiga kelompok, yakni bisnis kuliner, industri kreatif, dan industri rumahan. Warga bebas memilih pelatihan yang diinginkan. Bukan hanya warga yang sudah memiliki usaha, warga yang ingin merintis usaha juga disarankan mengikuti pelatihan itu. Mereka juga difasilitasi perizinan terkait produknya, seperti izin produksi industri rumah tangga serta izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pemkot Surabaya terus mendorong UMKM Pahlawan Ekonomi menangkap semangat ’Go Global Go Digital Go Financial’.
Vincentius Surya Putra, Koordinator Kreavi sekaligus mentor pelaku UMKM, mengatakan, ada sekitar 200 pelaku UMKM yang sudah naik kelas. Kualitas produk yang dihasilkan UMKM itu meningkat dan bisa bersaing di tingkat nasional. Pelaku UMKM yang naik kelas dibimbing membuat merek dan kemasan untuk meningkatkan penjualannya.
Untuk bisa naik kelas, lanjut Vincentius, pelaku UMKM harus membuat produk yang konsisten, baik rasa, bentuk, ukuran sama, maupun kualitasnya. Selanjutnya, Pemkot Surabaya membantu membuat kemasan dan mempromosikan produk itu.
Menurut Vincentius, masih banyak pelaku usaha yang tidak percaya diri dan cepat puas dengan produk mereka. Padahal, produk itu masih bisa dikembangkan dan diperluas pemasarannya. ”UMKM Surabaya sebenarnya mampu bersaing. Mereka harus percaya diri,” ucapnya.
Berkembangnya UMKM di Surabaya menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Risma. Produk UMKM Surabaya tak kalah bersaing dengan produk dari daerah lain. Bahkan, dia tak ragu untuk memberi cendera mata bagi tamunya, dari dalam negeri dan luar negeri, berupa produk UMKM Kota Surabaya.