Membangun Indonesia dari Timur
Membangun Indonesia bagian timur hanyalah awal. Langkah selanjutnya adalah turut serta membangun dan memajukan Indonesia, kemudian melebarkan sayap ke berbagai belahan dunia. Sesuai semboyannya, Maju Bersama, maka memajukan perusahaan berarti turut serta memajukan Bangsa Indonesia. Begitu pula sebaliknya.
Berawal dari bisnis pasangan Haji Kalla dan Hajjah Athirah Kalla di bidang tekstil pada 1952, NV Hadji Kalla berkembang menjadi Kalla Group. Saat ini, perusahaan yang memiliki aset Rp 15 triliun tersebut memiliki usaha di bidang otomotif, energi, konstruksi, properti, dan agribisnis. Pada 18 Oktober 2017, perusahaan yang kini memiliki lebih dari 6.500 karyawan itu berumur 65 tahun.
Kompas berkesempatan berbincang dengan Solihin J Kalla (41), Direktur Kalla Group, di rumahnya di Jakarta, akhir pekan lalu. Ayah dua putera dan dua puteri ini menuturkan tentang strategi perusahaan dan harapannya. Bagi penggemar fotografi yang kini sedang menikmati buku karya peraih Nobel Ekonomi, Joseph E Stiglitz, ini, era digital yang merangsek ke dunia bisnis adalah tantangan yang harus dihadapi. Berikut ini petikannya.
Bagaimana rasanya menjadi anak muda yang bekerja di perusahaan yang usianya jauh di atas Anda?
Saya adalah generasi ketiga. Memang menantang. Kata banyak orang dan survei, generasi ketiga adalah generasi yang sangat penting. Tantangan kami, bagaimana mempertahankan perusahaan yang usianya sudah sangat matang. Kita lihat di Indonesia sangat jarang perusahaan keluarga yang sampai berumur 65 tahun. Visi kami, bagaimana memajukan perusahaan sampai berumur ratusan tahun.
Di era digital, dunia bisnis berubah sangat cepat. Bagaimana perusahaan yang berusia matang menghadapi ini?
Era digital, yang kira-kira baru satu dekade ini, merupakan tantangan baru. PT Hadji Kalla yang bergerak di infrastruktur dasar, seperti konstruksi dan perdagangan atau sektor riil, tiba-tiba dihadapkan pada dunia digital. Kami berusaha mengikuti perkembangan zaman. Agak susah, tapi kami berusaha mengikuti. Sebagai generasi ketiga, kami berusaha menggali nilai-nilai dan arti dunia digital dan milenial. Insya Allah mampu kami hadapi.
Seberapa besar porsi karyawan milenial di Kalla Group saat ini?
Karyawan berusia di atas usia 30 tahun masih lebih dari 50 persen. Namun, kami sekarang sedang "galak-galaknya" merekrut yang muda-muda, yang penuh kreativitas dan semangat memajukan bangsa. Apalagi di dunia yang mengalami pergeseran dari sektor riil ke digitalisasi sektor riil.
Apakah titik kumpul kekayaan intelektual (intellectual property hub/IP Hub) yang akan dibangun itu juga dalam rangka menghadapi serbuan digital?
Bagaimana menghadapi milenial, salah satu ide di Indonesia adalah mengadopsi kekayaan intelektual. Kami mengundang anak-anak muda yang penuh kreativitas. Kami memberi wadah dan tempat berkarya. Kami berikan bimbingan, kurasi, dan segala macam hal agar ide yang muncul bisa disinergikan.
Sinergi seperti apa? Bukankah cara kerja anak-anak muda ini berbeda dengan perusahaan yang sudah matang?
Kita berkarya dengan trial and error. Ini sesuatu yang baru bagi kami. Tadinya di sektor riil, tiba-tiba harus bergeser ke digital. Misalnya, saya baru belajar memakai Instagram, menambah pengikut. Digital itu gampang-gampang susah.
Posisi Makassar di Sulawesi Selatan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia bagian timur, berdampak langsung bagi bisnis?
Dari awal berdiri sampai sekarang, kantor pusat kami di Makassar. Kami memang fokus pada bisnis di Indonesia timur. Misi kami adalah membangun Indonesia bagian timur, membangun khususnya Sulawesi, sampai kapan pun. Termasuk IP Hub ini sebagai titik kumpul di Makassar. Sekarang yang kita kenal anak-anak muda kreatif hanya di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Padahal, anak-anak di Indonesia bagian timur juga kreatif. Tempat sinerginya yang enggak ada. Maka, IP Hub kami buat di Indonesia bagian timur agar tidak kalah dengan tempat lain.
Melihat kondisi bisnis di Indonesia, apa kemajuan yang layak diapreasi dan apa kekurangan yang mesti diperbaiki?
Ada sedikit perubahan dari segi ekonomi, tetapi tidak signifikan. Kami juga merasakan itu, mungkin karena efek (kondisi perekonomian) dunia yang sedang turun. Daya beli ada, tetapi bergeser dari riil ke digital. Belanja sudah di tangan (gawai). Kami di (bisnis) otomotif juga merasakan sedikit, karena ada bisnis dalam jaringan (daring). Taksi daring membuat orang yang semula tiga tahun sekali ganti mobil, sekarang menjadi lima tahun sekali. Orang lebih dimudahkan, dengan mengangkat telepon sudah punya mobil pribadi dan sopir pribadi (taksi daring). Itu yang kami sebut bergeser. Dampak ke ekonomi lumayan terasa.
Apakah ada yang perlu diperbaiki?
Lebih ke regulasi. Peran pemerintah untuk menjaga agar jangan terlalu terbuka, mesti setahap demi setahap. Oke, kita bergeser (ke digital), tapi jangan semuanya, ada pembatasan. Persaiangan perlu, tapi iklimnya dijaga, jangan (berubah) seperti membalik telapak tangan.
Apa harapan untuk perusahaan di masa mendatang?
Kami berharap Kalla Group bisa berumur hingga ratusan tahun, berkarya untuk bangsa supaya bisa maju bersama-sama bangsa. Kami punya motto : maju bersama. Ayo kita maju bersama untuk memajukan bangsa. Kalau kita maju, bangsa juga maju. Begitu juga sebaliknya, bangsa maju, kita juga maju. Itu harapan kami, agar kami tetap berkarya, bisa berkontribusi untuk bangsa dan negara. Indonesia timur adalah batu loncatan dan tempat untuk memperlihatkan bahwa kita memajukan Indonesia timur. Setelah itu kami masuk ke Indonesia bagian barat, nasional, dan global.
Ada target, kapan menjadi global?
Kami masuk nasional dulu, sebab jadi satu tantangan besar untuk ke nasional. Memajukan Indonesia timur juga tantangan yang harus kami buktikan. Apalagi masuk ke global.
Apa strategi dan fokusnya?
Di dunia yang mulai bergeser dan ramai ke digital, kami akan masuk ke area itu. Era digital ini tidak lepas dari energi listrik. Mulai 2002, kami sudah mulai masuk ke bisnis energi, khususnya pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Kita di Indonesia punya banyak sumber air, khususnya di Indonesia bagian timur, kami fokus menjadikan energi listrik. Kami sudah membangun PLTA 195 megawatt (MW) yang sudah beroperasi di Poso, Sulawesi Tengah. Kami juga masuk ke Sulawesi Selatan. Yang sekarang sedang dalam proses konstriksi 90 MW. Berikutnya akan ke 300 MW. Kami akan fokus di energi, termasuk membangun Terminal LNG di Banten yang bekerja sama dengan BUMN.
Energi adalah salah satu sektor yang jadi fokus pemerintah. Ada kesulitan mewujudkan proyek itu?
Alhamdulillah, kami tidak merasakan kesulitan besar. Di semua bisnis selalu ada halangan dan tantangan. Kami tidak menyebutnya sebagai kesulitan.
Proyek itu melibatkan anak bangsa?
Kami selalu, khususnya di energi, menggunakan otak dalam negeri, otot dalam negeri, dan uang dalam negeri. Engineer kami selalu dari dalam negeri, otot dalam negeri atau kontraktor Indonesia, serta keuangan dari bank di dalam negeri.
Apa konsekuensi menyandang nama Kalla dalam bisnis?
Kami dilahirkan sebagai pedagang. Kebetulan Ayah saya mendapat amanah menjalankan negara, tidak semata-mata karena itu kami jadi kehilangan pekerjaan. Pesan Ayah saya, selama Ayah saya menjabat, tidak boleh bersentuhan dengan negara. Bisnis seperti biasa, selalu Bisnis dengan Bisnis, tidak pernah Bisnis dengan Pemerintah dan tidak terlibat dalam Pemerintah dengan Pemerintah. Di lapangan, memang ada kendala karena menyandang nama Kalla, ada yang bilang, misalnya, ini fasilitas Kalla. Padahal, kami tidak pernah gunakan itu. Kami tidak bisa menghilangkan nama Kalla yang sudah digunakan sejak awal. Tapi kami sangat profesional dalam berbisnis.