Strategi Industri Asuransi Memperluas Pasar
Pertumbuhan premi asuransi jiwa di Indonesia cukup pesat. Kanal pemasaran melalui bank atau ”bancassurance” menjadi penopang utama pertumbuhan bisnis asuransi. Pertumbuhan premi itu juga tidak terlepas dari peran agen atau tenaga pemasar asuransi yang jumlahnya masih terus meningkat hingga kini. Di sisi lain, pemahaman dan minat masyarakat terhadap asuransi masih rendah.
Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), pada triwulan II-2017, pendapatan premi asuransi jiwa Rp 88,66 triliun. Pendapatan premi yang dibukukan per akhir Juni 2017 itu tumbuh 18,8 persen dari periode yang sama pada 2016, yang sebesar Rp 74,61 triliun.
”Dari total pendapatan premi pada triwulan II-2017, premi bisnis baru tumbuh 28,4 persen menjadi Rp 55,73 triliun. Adapun premi lanjutan meningkat 5,6 persen menjadi Rp 32,93 triliun. Kanal distribusi melalui perbankan masih mendominasi,” ujar Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu melalui siaran pers, beberapa waktu lalu.
Kanal pemasaran melalui bank atau bancassurance berkontribusi sebesar 43,2 persen dari total pendapatan premi atau meningkat 33,7 persen secara tahunan. Sementara kanal pemasaran melalui agen berkontribusi 37,7 persen dari total pendapatan premi. Jumlah agen asuransi jiwa pada triwulan II-2017 sebanyak 571.117 orang atau bertambah 12,5 persen dibandingkan dengan triwulan II-2016.
Kepala Departemen Industri Keuangan Non-Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) M Ihsanuddin mengemukakan, aset asuransi jiwa pada periode 2013-2017 tumbuh 14,52 persen dan premi asuransi jiwa meningkat 4,27 persen. Kendati demikian, penetrasi dan densitas premi asuransi jiwa masih rendah.
Penetrasi atau premi asuransi jiwa terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 1,3 persen, sementara densitas atau premi per kapita Rp 655.504 per tahun. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia pada 2016 sebesar 3.605,1 dollar AS atau Rp 47,96 juta per tahun.
”Penetrasi dan densitas asuransi di Indonesia itu masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, terutama Malaysia dan Singapura,” katanya.
Berdasarkan data OJK, pada 2016 penetrasi dan densitas industri asuransi Indonesia secara umum masing-masing sebesar 2,8 persen dan Rp 1,35 juta. Penetrasi dan densitas industri asuransi Malaysia masing-masing 4 persen dan Rp 4,54 juta. Adapun penetrasi dan densitas industri asuransi Singapura masing-masing sebesar 7 persen dan Rp 47,78 juta.
Rendahnya penetrasi dan densitas asuransi di Indonesia itu terjadi karena pemahaman dan minat masyarakat terhadap asuransi yang masih rendah. Hasil survei OJK pada 2016 menunjukkan, Indeks Literasi Keuangan sektor asuransi sebesar 15,76 persen, sedangkan Indeks Inklusi Keuangan sektor asuransi sebesar 12,08 persen.
Angka itu menunjukkan, dari 100 orang, baru 15-16 orang yang mengerti tentang asuransi. Adapun mengenai inklusi asuransi, hanya 12-13 orang yang mengakses asuransi dari 100 orang yang disurvei.
Potensi pasar
Ihsanuddin mengemukakan, industri jasa asuransi melalui kanal perbankan masih bertumpu pada nasabah-nasabah potensial. Padahal, dalam satu titik tertentu, hal ini akan berada dalam kondisi stagnan.
Melihat indeks inklusi keuangan sektor asuransi tahun lalu, sebenarnya pangsa pasar asuransi jiwa masih sangat lebar. Tak hanya menyasar kelompok menengah ke atas. Nantinya, pelaku industri jasa asuransi bisa memanfaatkan bonus demografi dan menggarap pasar kalangan menengah ke bawah.
”Saat ini, pelaku industri jasa asuransi telah menyasar kalangan menengah ke bawah melalui program asuransi yang dirintis OJK, yaitu asuransi mikro dan nelayan. Selain itu, lembaga-lembaga asuransi juga mulai bermitra dengan bank untuk meningkatkan penyaluran premi asuransi mereka,” katanya.
Ihsanuddin menambahkan, industri asuransi juga mulai masuk ke layanan asuransi digital untuk menjawab tantangan zaman, yaitu pertumbuhan kelas menengah ke atas dan perkembangan teknologi. Mereka bisa menjalin kemitraan dengan pelaku usaha teknologi finansial.
Pelaksana Tugas Direktur Utama BNI Life, Geger Maulana, mengatakan, pemasaran asuransi melalui bank masih menjadi penyumbang utama premi BNI Life. Hingga akhir semester I-2017, perolehan premi BNI Life meningkat 41 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016.
Perolehan premi BNI Life itu lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan premi industri asuransi yang tumbuh moderat di angka 20 persen. Bancassurance merupakan salah satu strategi BNI Life bersinergi bersama induk usahanya, yaitu PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, untuk melayani kebutuhan produk finansial atas nasabah-nasabah BNI, baik individu maupun korporasi.
”Kesadaran masyarakat Indonesia atas manfaat perlindungan perencanaan keuangan dan perlindungan masih sangat minim. Kami sadar bahwa membangun kesadaran berasuransi sejak muda sangat penting untuk meningkatkan penetrasi asuransi,” katanya.
Untuk membangun kesadaran berasuransi, lanjut Geger, BNI menggelar beberapa program literasi keuangan. Program ini juga menyasar kalangan muda, antara lain melalui bincang-bincang di radio dan acara tertentu. BNI Life juga menyiapkan infrastruktur digital dan menyiapkan program yang menyasar komunitas di masyarakat.
Upaya mendorong penjualan produk asuransi melalui kerja sama dengan bank juga dilakukan PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG (Sinarmas MSIG Life). Sinarmas MSIG Life bekerja sama dengan PT Bank Bukopin Tbk untuk menyalurkan dua produk asuransi, yaitu Smart Plan Protection dan Smart Life Protection.
”Distribusi produk asuransi melalui bancassurance ditargetkan dapat memberikan kontribusi lebih dari 50 persen terhadap perolehan premi bisnis baru perusahaan selama 2017,” kata Presiden Direktur Sinarmas MSIG Life Premraj Thuraisingam.
Asuransi mikro
Kesadaran menggarap pasar menengah ke bawah melalui asuransi mikro juga mulai direalisasikan perusahaan asuransi.
Sesuai namanya, asuransi mikro memberikan pertanggungan yang relatif lebih kecil nilainya daripada asuransi biasa. Tentu saja, premi yang dibayarkan nasabah juga lebih kecil.
Dengan demikian, jika semata-mata dilihat dari nilainya, sumbangannya terhadap bisnis masih kecil. Namun, jika melihat dari sebarannya, asuransi mikro ini bisa menjadi cikal bakal penyebaran asuransi ke semua kalangan. Sebagian di antara nasabah asuransi mikro ini, tentu suatu saat, akan menjadi nasabah asuransi biasa.
BNI Life, misalnya, mulai menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah dengan menawarkan produk asuransi mikro. Namun, dari total kontribusi premi BNI Life per Juli 2017, kontribusi produk asuransi mikro masih minim. ”Hingga saat ini, tren pertumbuhan asuransi mikro di BNI Life masih satu angka,” katanya.
Sementara itu, BRI Life berupaya meningkatkan premi asuransi jiwa melalui asuransi mikro. Distribusi utama atau sekitar 85 persen premi diperoleh melalui pemasaran melalui bank, yaitu melalui kantor-kantor unit dan Teras PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Adapun sisanya, yaitu 15 persen, melalui agen dan bisnis korporasi.
Dalam siaran pers, Direktur Pemasaran BRI Life Fabiola N Sondakh mengatakan, perseroan memiliki strategi berbeda untuk menarik nasabah mikro. Salah satunya melalui film pendek berjudul Life is Full of Suprises dan Second Chance.
”Melalui film itu, kami ingin menggugah sisi emosional masyarakat agar memiliki kesadaran akan pentingnya memiliki asuransi sebagai perlindungan bagi kehidupan,” ujarnya.
Tahun ini, BRI Life menargetkan bisa membukukan pendapatan premi Rp 3 triliun. Kontribusi terbesar premi berasal dari produk non-unit link, yakni sekitar 75 persen, sedangkan sisanya dari produk unit link sebesar 25 persen.
Berdasarkan data OJK, sampai dengan Juni 2017, peserta asuransi mikro sebanyak 19.178.522 orang. Jumlah nasabah asuransi mikro ini meningkat 9,1 persen dalam setahun. Total nilai premi brutonya Rp 751,63 miliar atau tumbuh 116 persen dalam setahun.
Adapun untuk asuransi nelayan—sebagai salah satu program yang didorong pemerintah—per Agustus 2017 sudah ada 223.231 nelayan atau 44,65 persen dari target 500.000 nelayan yang menjadi pesertanya. Total preminya sebesar Rp 390,65 miliar. (HENDRIYO WIDI)