logo Kompas.id
EkonomiHarga Gas Harus Terjangkau...
Iklan

Harga Gas Harus Terjangkau Industri

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Rencana pengembangan gas pipa dari Blok Masela, Maluku, untuk industri petrokimia harus disertai penetapan harga yang wajar. Harga gas pipa diharapkan tidak lebih dari 3 dollar AS per MMBTU. Hingga kini belum ada kejelasan industri penyerap gas pipa itu.Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja di Jakarta, Jumat (20/10), mengatakan, belum ada rencana terpadu pengembangan industri petrokimia di kawasan Blok Masela. Belum ada kejelasan pula, apakah industri petrokimia tersebut akan dikembangkan oleh BUMN atau swasta. Ketiadaan rencana terpadu itu akan membuat investor ragu untuk berinvestasi."Harga gas untuk industri petrokimia sebaiknya tidak lebih dari 3 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Kalau lebih dari itu, berat bagi industri. Namun, apabila memang sudah diniatkan untuk industri petrokimia, pemerintah harus siap dengan pemberian insentif," ujar Achmad. Achmad mengatakan, karakteristik Blok Masela yang jauh di lepas pantai membuat pemanfaatan gas Blok Masela lebih tepat apabila berupa gas alam cair (LNG). Dengan demikian, gas lebih mudah diangkut dan didistribusikan. Apalagi, pusat industri pengguna gas ini sebagian besar berlokasi di Jawa. Akan sangat tidak efisien apabila gas dari Blok Masela dialirkan melalui pipa.Dalam kunjungan kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan ke Jepang beberapa waktu lalu dilakukan pertemuan dengan pihak Inpex Corporation selaku investor utama Blok Masela. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa pengembangan gas akan berupa LNG dan gas pipa. Volume produksi LNG yang disepakati adalah 9,5 juta ton per tahun dan gas pipa sebanyak 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Pembangunan kilang LNG tetap dilakukan di darat dengan pemilihan lokasi diserahkan sepenuhnya kepada Inpex."Pemerintah juga akan memberikan perpanjangan operasi investor di Blok Masela selama 20 tahun dan tambahan lagi 7 tahun sebagai kompensasi perubahan rencana pengembangan gas dari semula di laut lepas (off-shore) menjadi di daratan (on-shore)," kata Jonan dalam keterangan resmi.Kepastian pembeliDirektur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kepastian tentang industri penyerap gas bumi dari Blok Masela adalah hal yang amat penting. Lazimnya pada pengembangan industri ini, produksi gas dilakukan setelah ada kepastian pembeli gas tersebut. Pemerintah dan investor harus cermat menghitung serapan gas pipa yang diproduksi dari Blok Masela."Apabila semakin berlarut-larut, kedua belah pihak, yaitu negara dan kontraktor akan sama- sama dirugikan. Potensi penerimaan negara akan mundur akibat proyek terus tertunda," ujar Komaidi.Kontrak Blok Masela ditandatangani pada 1998. Berdasarkan kontrak tersebut, Inpex dari Jepang menguasai 65 persen saham, sedangkan 35 persen saham selebihnya dikuasai Shell dari Belanda. Kontrak Blok Masela akan berakhir pada 2028. Saat ini, Inpex tengah melakukan kajian prapendefinisian proyek (pre front end engineering design/FEED) pengembangan gas Blok Masela.Polemik pengembangan gas Blok Masela meruncing pada 2015. Saat itu, ada perbedaan pendapat apakah gas dikembangkan di laut atau di darat. Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said, bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, merekomendasikan pengembangan gas model di laut lepas. Namun, pada Maret 2016, Presiden Joko Widodo memutuskan pengembangan gas Blok Masela dilakukan di darat. (APO)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000