logo Kompas.id
EkonomiAlternatif Mesti Memenuhi...
Iklan

Alternatif Mesti Memenuhi Selera Rasa Masyarakat

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Selain harga terjangkau, pengembangan pangan alternatif selain beras dan terigu juga mesti memenuhi selera masyarakat. Dengan adanya permintaan, sektor budidaya akan ikut tumbuh dan menciptakan sumber ekonomi.Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Bioindustri Gardjita Budi dalam diskusi percepatan diversifikasi pangan di kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Jakarta, Selasa (24/10), menyatakan, kunci pengembangan pangan alternatif berada di industri kuliner. Ketika ada permintaan di hilir, sektor hulu ikut tumbuh.Akan tetapi, ada sejumlah syarat suatu sumber pangan bisa diterima pasar. Selain harga yang terjangkau, rasanya juga harus enak sehingga menarik minat dan menjadi alternatif pangan. Budi mencontohkan substitusi tepung terigu dengan tepung singkong. Akibat kalah rasa, tepung singkong dinilai kurang berkembang. Sebaliknya, substitusi beras dengan pasta atau piza berhasil, tetapi bahan pengganti merupakan barang impor.Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi menambahkan, Kementerian Pertanian merancang program berkelanjutan untuk mengembangkan sumber pangan alternatif tahun depan. Selama ini, program diversifikasi pangan kurang berhasil melalui kampanye atau gerakan."Kami akan mulai dari pengolahan sumber pangan lokal, bukan dari budidayanya. Setelah diminati konsumen, budidaya akan terdorong pula," kata Agung.Selama ini, tingginya harga jual karena faktor mahalnya mesin dan teknologi pengolah menjadi salah satu kendala. Jagung yang diolah menjadi bentuk beras, misalnya, sulit laku karena harganya Rp 20.000 per kilogram (kg), lebih tinggi daripada harga beras premium.PotensialAktivis kelompok wanita tani dari Desa Sukadaji, Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Annisa Choeriah, menuturkan, pengolahan, pengemasan, dan promosi yang baik terbukti mengangkat derajat hanjeli atau jali-jali, sejenis tumbuhan biji-bijian tropis dari suku padi-padian. "Dua tahun lalu hampir tak ada lagi petani yang menanamnya, tetapi sekarang banyak petani tertarik membudidayakannya," ujarnya.Bersama kelompoknya, Annisa mengolah dan mengemas hanjeli, mempromosikannya sebagai pengganti beras yang memiliki kandungan gizi lebih baik, dan menjualnya seharga Rp 15.000 per kg. Dari sekitar 50 petani dengan 10 hektar lahan pada tahun lalu, kini ada 200 petani di desanya yang berencana menanam hanjeli.Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron mengatakan, selain mengurangi tekanan terhadap permintaan beras, pengembangan pangan alternatif juga membuka peluang ekonomi baru bagi petani dan warga desa. Namun, pengembangannya saat ini masih sporadis.Model pengembangan diversifikasi yang mengangkat potensi lokal sudah dilakukan di sejumlah daerah, antara lain pangan berbasis sorgum di Demak (Jawa Tengah) dan Larantuka (Nusa Tenggara Timur/NTT), model bioindustri sagu di Kehiran (Papua), model bioindustri jagung di Kupang Timur (NTT), serta model diversifikasi pangan berbasis hanjeli di Sumedang dan ubi kayu di Cimahi (Jawa Barat). (MKN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000