JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017, yang akan berlaku pada 1 November besok, harus dipatuhi oleh semua pihak terkait. Peraturan itu dibuat dengan mendengarkan masukan dari semua pihak dan dibuat untuk kepentingan pelaku usaha dan pengguna jasa dalam hal keselamatan, perlindungan konsumen, kesetaraan, dan kesempatan berusaha.
”Pemerintah telah membuat yang terbaik. Di negara mana pun, transportasi diatur. Peraturan itu dibuat sebagai bukti bahwa negara hadir dalam upaya keselamatan transportasi dan mendukung kesempatan berusaha,” kata pengamat transportasi dari Universitas Katolik Sugijapranata, Djoko Setijowarno, Minggu (29/10).
Djoko juga mengatakan, untuk memastikan praktik layanan transportasi daring berjalan dengan baik, sebaiknya penyedia aplikasi juga berada di bawah Kementerian Perhubungan, bukan di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. ”Inti layanan mereka adalah transportasi. Aplikasi hanya sarana. Jadi, ya, harusnya di bawah kementerian yang terkait dengan inti layanannya,” ujar Djoko.
Setelah putusan MA yang menganulir 14 pasal yang terdapat dalam Permenhub No 26/2017 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Tidak Dalam Trayek, Kementerian Perhubungan telah menerbitkan Permenhub No 108/2017 sebagai penggantinya. Permenhub baru itu dibuat berdasarkan masukan dari sejumlah pihak, dan semua pihak mengharapkan agar diatur kembali.
Berbenah diri
Sekretaris Jenderal DPP Organda Ateng Aryono menegaskan, sikap Organda saat ini hanya berusaha memperjuangkan iklim yang baik dan sehat di bidang usaha angkutan jalan. Organda juga mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat di antara anggota dalam rangka memanfaatkan modal dan keahlian secara optimal dan efisien.
”Target Organda hanya berperan aktif dalam pengambilan policy (kebijakan) yang sangat berdampak kepada pengusaha transportasi darat. Untuk itu, sebaiknya semua pihak menahan diri agar tidak melakukan aksi dan tindakan yang tidak produktif,” ujarnya.
Ateng menyebutkan, dengan adanya aturan ini, sebaiknya semua pihak berbenah diri. Pihak taksi reguler menata dan meningkatkan layanannya, sementara taksi aplikasi juga taat pada aturan yang ada. ”Jangan semaunya sendiri karena semuanya ada aturan. Di luar negeri, penyedia aplikasi transportasi tunduk pada aturan kementerian transportasi. Mereka disebut Transportation Networking Company,” ujarnya.
Apabila tidak di bawah Kementerian Perhubungan, lanjut Ateng, bentuk penindakan dan sanksi terhadap pelanggaran tidak bisa dijalankan pemerintah. ”Kita semua ingin semua usaha ini dijalankan dengan adil dan pemerintah berlaku sebagai regulator dan mengawasi praktik-praktik yang tidak pada tempatnya,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Djoko juga mengatakan, paradigma transportasi umum sudah saatnya diubah karena sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi yang ada. Jika semula membangun transportasi umum berorientasi harus mendapatkan keuntungan, kini harus berorientasi pada layanan.
”Pemerintah terlambat mengantisipasi perkembangan yang ada. Ketika sepeda motor mudah dan murah didapatkan, jadilah sepeda motor menjadi sarana transportasi umum, walau tidak masuk kategori transportasi umum dalam UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” tuturnya.
Perubahan paradigma itu, menurut Djoko, sangatlah penting untuk segera dilakukan karena kondisi di lapangan, terutama di daerah, telah menimbulkan kegaduhan. ”Saat muncul transportasi daring, pemerintah tidak siap mengantisipasinya,” ujar Djoko.