Registrasi Kartu Prabayar Perbaiki Iklim Industri Komunikasi
JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban registrasi kartu prabayar jasa telekomunikasi yang tervalidasi data kependudukan diharapkan dapat menyehatkan iklim industri. Hal ini antara lain tampak pada kinerja operator yang tak sekadar diukur dari jumlah pelanggan. Subsidi promo pun lebih terkendali.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys, Selasa (31/10), di Jakarta, mengatakan, persentase rata-rata tingkat pindah layanan jasa telekomunikasi (churn rate) di Indonesia saat ini berkisar 15-20 persen. Ada operator yang memiliki catatan pindah layanan di bawah rata-rata industri, seperti Smartfren sekitar 13 persen.
"Tujuan utama kebijakan ini adalah agar negara maupun industri punya basis data pelanggan dengan identitas valid. Pelanggan lama seharusnya tidak terlalu terpengaruh dengan kewajiban registrasi ulang. Calon pelanggan baru kemungkinan terimbas lebih besar karena kebijakan ini membuat proses pendaftaran lebih presisi atau tertib," ujarnya.
Belum dapat dipastikan seberapa besar tingkat pindah layanan berkurang, akibat pelaksanaan kewajiban registrasi kartu prabayar yang tervalidasi data kependudukan.
Namun, Merza mengungkapkan sejumlah konsekuensi akan muncul pascaimplementasi kewajiban ini. Misalnya, data kotor berkurang. Distribusi pesan tidak sesuai keinginan konsumen (spamming) yang biasa dilakukan dengan memanfaatkan bonus promo kartu perdana prabayar juga akan berkurang.
Pola pikir
Menurut Merza, kewajiban registrasi ini juga akan menggeser pola pikir investor telekomunikasi. "Sebelumnya, investor mengukur kualitas kinerja operator dari jumlah pelanggan. Saat ini, ukuran bagus jeleknya performa perusahaan telekomunikasi dari pendapatan setiap produk," ujar Merza.
Produk operator telekomunikasi ini mencakup suara (telepon), pesan pendek (SMS), dan data internet.
Merza yang juga menjabat Presiden Direktur Smartfren ini berpendapat, penerapan kewajiban registrasi kartu prabayar ini dampak jangka panjang akan berdampak pada tata niaga jasa telekomunikasi. Setidaknya, kata Merza, operator dapat mengembangkan pola pemasaran yang lebih tepat sasaran.
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Indonesia Telecommunication Users Group M Jumadi mengatakan, tata niaga layanan jasa telekomunikasi perlu diperbaiki. "Banyak warga memiliki nomor lebih dari satu karena mereka mengejar bonus layanan murah, seperti gratis menelepon dalam satu operator. Ini persoalan tata niaga jasa telekomunikasi yang belum terselesaikan sampai sekarang," ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, pihaknya mengajak para operator agar sama-sama menyehatkan industri telekomunikasi. Salah satu caranya, dengan tidak banyak memberikan subsidi untuk promo layanan.
"Saya tak akan mengeluarkan peraturan mengenai tarif batas bawah untuk produk maupun layanan jasa telekomunikasi. Untuk menyehatkan industri serta perbaikan perlindungan konsumen, saya segera terbitkan aturan tentang standar minimal kualitas produk atau layanan," ujarnya.
Anggota Dewan Teknologi Informasi Komunikasi Nasional, Garuda Sugardo, mengatakan, sebelum registrasi diwajibkan, banyak kartu perdana prabayar yang diisi banyak promo dengan masa tenggat relatif pendek. Ketika tak laku hingga tenggat habis, kartu itu dihanguskan atau diisi kembali dengan paket promo.
"Aktivitas \'bakar-bakaran\' nomor harus dikenakan sanksi oleh pemerintah karena masuk kategori bodong," ujar Garuda.
Dua tahun terakhir, sebelum mewajibkan registrasi tervalidasi dengan data kependudukan, pemerintah beberapa kali mengubah kebijakan teknis verifikasi dan validasi identitas pelanggan prabayar jasa telekomunikasi.
Pada 15 Desember 2015, pemerintah mewajibkan registrasi hanya dilakukan di gerai penjualan. Para penjual kartu prabayar mendapat nomor identitas untuk menjamin registrasi hanya bisa dilakukan di gerai, bukan oleh pelanggan sendiri.
Model itu dinilai gagal, kemudian dihentikan. Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia I Ketut Prihadi mengatakan, pihaknya telah mengevaluasi penerapan metode registrasi yang sebelumnya pernah berlaku. Hasil evaluasi menunjukkan, metode registrasi itu tidak memberi jaminan validasi identitas pelanggan. Pemerintah pun kemudian mewajibkan registrasi kartu prabayar yang tervalidasi data kependudukan mulai 31 Oktober 2017.
Ketut mengingatkan, operator harus bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan itu. "Pada registrasi yang berlaku mulai 31 Oktober ini ada larangan bagi operator untuk menyebarluaskan data penduduk milik pelanggan," kata Ketut. (MED)