Pahit Legit Cokelat Ndeso Bigaran
Sempat nyaris dibabat habis akibat harga anjlok, masyarakat Desa Bigaran di perbukitan Menoreh, Magelang, Jawa Tengah, kini kembali semangat menanam pohon kakao (Theobroma cacao). Biji-biji kakao diolah menjadi aneka produk berlabel Cokelat Ndeso sehingga meningkatkan harga jual dan menopang ekonomi warga.
Supangat (51), petani kakao di Desa Bigaran, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, mengatakan, warga menanam kakao sejak 1999. Mereka tidak hanya menanam di kebun, tetapi juga di halaman rumah. Kala itu, desa setempat bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, melakukan pembibitan kakao. "Saat itu kakao dipilih karena tergolong tumbuhan penahan longsor, sama seperti kopi," ujar Supangat, Rabu (1/11). Lokasi Bigaran yang berada di lereng bukit perbatasan Magelang-Kulon Progo memang tergolong rentan longsor.
Dengan cepat warga berlomba menanam kakao. Bukan hanya di kebun, bahkan juga di pekarangan rumah. Biji cokelat melimpah di pasar lokal dan akhirnya harga jual anjlok. Harga biji kakao, menurut Supangat, jatuh ke level terendah Rp 1.500 per buah pada 2001. Padahal, biasanya bisa mencapai Rp 10.000 per buah. Petani pun kecewa dan frustrasi. Sebagian kebun kakao dibabat berganti tanaman palawija.
Baru pada 2014, melalui program penghijauan, Pemkab Magelang mendistribusikan 24.000 bibit kakao kepada warga Bigaran. Warga antusias dan kembali melakukan pembibitan ulang.
Namun, petani cenderung memilih menjual langsung hasil panen kepada tengkulak. Mereka menjual biji kakao di Pasar Jagalan, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Arif Widiastoyo (51), petani kakao lain, menuturkan, penjualan biji kakao secara mentah itu tidak memberikan nilai tambah apa pun terhadap komoditas asli desa tersebut. Harga jual biji kakao mentah di pasaran berkisar Rp 16.000-17.000 per buah. Adapun rata-rata hasil panen berkisar 400 kg-1.400 kg biji kakao per hektar tergantung pada cuaca dan hama.
Pengolahan
Melihat kondisi itu, sejumlah warga tergerak mengembangkan cokelat dengan memberikan nilai tambah pada rantai ekonominya. Nano Widodo (35), koordinator Balai Ekonomi Desa Bigaran, menuturkan, sejak Juni lalu dirintis usaha pengolahan kakao menjadi berbagai produk cokelat. Dengan peralatan sederhana, warga bisa membuat sejumlah varian cokelat, misalnya cokelat bubuk, cokelat batangan, selai cokelat, cokelat praline, dan kurma cokelat. Semua produk itu diberi merek Cokelat Ndeso.
"Kami memakai nama Cokelat Ndeso karena cokelat ini, kan, berasal dari desa dan semangat pengembangan usaha ini juga untuk membangun desa," ujar Nano.
Produk-produk Cokelat Ndeso dijual dengan harga variatif. Jenis bubuk, misalnya, dijual Rp 120.000 per kg untuk kualitas nomor satu dan Rp 80.000 per kg untuk kualitas nomor dua. Adapun cokelat batangan seberat 250 gram dijual Rp 25.000, sedangkan selai cokelat ukuran 150 gram Rp 15.000.
Meski masih bersifat rintisan, cokelat bubuk Desa Bigaran sudah dipesan secara rutin oleh sejumlah kafe di Kulon Progo, Magelang, dan Kebumen. Penghasilan dari penjualan Cokelat Ndeso relatif masih kecil, sekitar Rp 6 juta per bulan.
Namun, upaya itu telah mendorong minat pemerintah desa serius mengembangkan potensi. Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bigaran Ismiyati Indariyah menyatakan, produk Cokelat Ndeso akan dikelola BUMDes mulai 2018. Unit bisnis ini diyakini mampu menghidupkan kembali kakao sebagai komoditas unggulan desa. (HRS/KRN)