Sertifikasi Perikanan Mahal
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendorong pelaku usaha perikanan budidaya untuk menerapkan sertifikasi perikanan memerlukan intervensi pemerintah. Pasar dunia kian menuntut produk perikanan yang bersertifikat untuk menjamin cara budidaya yang baik dan keamanan pangan.
Saat ini, upaya sertifikasi perikanan terganjal biaya yang dinilai masih tinggi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengatakan hal itu dalam seminar "Indonesia Fisheries & Aquaculture Forum" di Jakarta, Selasa (14/11).
Negara tujuan utama ekspor hasil perikanan Indonesia adalah Amerika Serikat, yakni sekitar 40 persen, dan Jepang sekitar 15 persen. Adapun pasar China terus tumbuh, yang tahun ini diperkirakan menembus 12 persen dari total ekspor perikanan Indonesia. Komoditas utama yang diekspor adalah udang dan tuna.
Budhi mengatakan, pasar internasional kini semakin menuntut produk perikanan yang memenuhi keamanan pangan, ketertelusuran (traceability) dan keberlanjutan (sustainability). Salah satu syarat keamanan pangan adalah sertifikasi yang meliputi cara budidaya ikan yang baik, pembenihan, dan pengolahan ikan.
Salah satu rekomendasi yang diminta Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) terhadap industri pengolahan adalah membeli bahan baku dari tambak ikan atau tambak udang yang telah bersertifikat.
Sementara itu, industri pengolahan juga harus memiliki sertifikat pengolahan agar bisa menjual produknya kepada pembeli. Kendalanya, biaya sertifikasi industri pengolahan sangat tinggi, yang harus diperbarui setiap tahun. Ia mencontohkan, biaya sertifikasi industri pengolahan di tahun pertama mencapai Rp 100 juta dan pada tahun-tahun berikutnya sekitar Rp 20 juta.
"Kami memahami sertifikasi diperlukan untuk masa depan agar bisa menjual produk ke luar negeri. Akan tetapi, biayanya masih sangat mahal. Dibutuhkan intervensi pemerintah untuk bisa menekan biaya sertifikasi bagi pelaku usaha," ujarnya.
Keuntungan
Budhi mengatakan, pelaku usaha menghitung untung dan rugi. Apabila biaya sertifikasi tinggi, tetapi kurang memberikan keuntungan pasar atau harga jual yang sepadan, maka sulit mengharapkan pelaku usaha memenuhi sertifikasi.
Di sisi hulu, pemerintah telah melakukan terobosan dengan sertifikasi cara budidaya ikan yang baik berstandar nasional bagi pelaku usaha perikanan budidaya yang bebas biaya. Namun, pemenuhan sertifikasi itu masih terbatas, disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Direktur Produksi dan Usaha Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Umi Windriani, mengemukakan, sertifikasi perikanan budidaya yang diterapkan Indonesia sudah memenuhi standar Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Sertifikasi cara budidaya ikan yang baik dan cara pembenihan ikan yang baik telah dilaksanakan lewat sertifikasi Indogap. "Sertifikasi diharapkan memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha perikanan budidaya," katanya.
Secara terpisah, Ketua Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW-Lampung) Nafian Faiz mengemukakan, belum banyak petambak di Lampung yang sudah melaksanakan sertifikasi cara budidaya ikan yang baik. Ia menilai, tidak ada perlakuan khusus yang didapat pemegang sertifikat tersebut. Harga udang untuk usaha tambak yang bersertifikat masih relatif sama dengan tambak yang tidak bersertifikat. (LKT)