logo Kompas.id
EkonomiAturan Jadi Kendala Investasi
Iklan

Aturan Jadi Kendala Investasi

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Investasi dan iklim berusaha di Indonesia masih terkendala aturan kaku yang diberlakukan di daerah tanpa upaya mencari solusi. Akibatnya, aktivitas bisnis menjadi tidak nyaman dan terganggu sehingga bisa berdampak pada penutupan aktivitas bisnis, pengurangan tenaga kerja, dan penurunan konsumsi masyarakat.Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit juga masih menjadi pertimbangan investor untuk meminjam dana dalam rangka mengembangkan usaha. "Konsumsi meningkat kalau ada daya beli. Daya beli ada kalau orang ada pekerjaan. Pekerjaan ada kalau industri dan usaha lancar. Kalau diganggu dengan aturan yang kaku dan tidak ada solusi, bagaimana orang bisa berusaha?" tanya Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, di Jakarta, Jumat (17/11). Tutum mengungkapkan, sejauh ini kebijakan Presiden Joko Widodo dalam membuat iklim investasi dan berusaha yang baik sudah positif. Ia mencontohkan, program deregulasi dan debirokratisasi dalam paket-paket kebijakan ekonomi. Namun, Tutum mempertanyakan, apakah realisasi kebijakan itu didukung aparat birokrasi di lapangan. "Presidennya berpikiran milenial. Akan tetapi, mental banyak aparat birokrat di bawah belum berubah," katanya.Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, perbankan masih melirik industri makanan dan minuman dalam menawarkan kredit. Namun, pelaku usaha industri makanan-minuman masih berpikir panjang untuk mengambil kredit karena biaya bunga yang masih tinggi.Menurut Adhi, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jika dirata-rata, satu proyek investasi di industri makanan dan minuman bernilai Rp 19 miliar sampai dengan Rp 20 miliar. Jika suku bunga bank masih tinggi, yaitu di atas 10 persen, biaya investasi terlalu tinggi dan waktu pengembalian investasi juga terlalu lama.Apalagi, lanjut Adhi, saat ini ada beberapa investor yang ingin berinvestasi di sektor hulu dan menengah di industri makanan-minuman. Jenis investasi itu memerlukan biaya yang besar dan dalam jangka panjang. "Kalau biaya investasi besar dan jangka panjang dengan bunga komersial seperti saat ini memang terlalu berat," katanya. Oleh karena itu, Adhi berharap, target penurunan bunga pinjaman di bawah 10 persen dapat tercapai. "Saat ini, rata-rata bunga pinjaman komersial untuk industri makanan-minuman masih di atas 10 persen. Bandingkan dengan di Malaysia dan Thailand yang berkisar 5-6 persen," katanya.Selain itu, menurut Adhi, kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga 9 persen juga kurang terserap untuk sektor produktif dan industri, terutama pelaku usaha kecil dan menengah. "Hambatannya, masalah jaminan. Bank masih mensyaratkan jaminan dalam pemberian KUR," katanya. Masalah lainSekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sanny Iskandar menuturkan, besaran suku bunga pinjaman menjadi pertimbangan investor dalam memutuskan untuk berinvestasi. "Selain itu, masih ada masalah-masalah lainnya, seperti kepastian hukum dan biaya logistik," kata Sanny yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri Indonesia ketika diminta tanggapan, kemarin. Sanny pernah menyampaikan, peningkatan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia dari peringkat ke-91 ke peringkat ke-72 dari 190 negara tentu memberi dorongan positif bagi para investor, khususnya investor asing, untuk berinvestasi di Indonesia.Di sisi lain, menurut Sanny, pemerintah juga harus terus melakukan terobosan untuk indeks komponen berkaitan dengan kemudahan berusaha, seperti izin domisili dan investasi, izin mendirikan bangunan, dan kecepatan penyambungan listrik.Sebelumnya, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Febrio Kacaribu menuturkan, pertumbuhan perekonomian jangan hanya dilihat dari sisi pengeluaran. Namun, juga dari sisi produksi."Sering kita salah kaprah. Kita bilang perekonomian didominasi konsumsi lalu (disampaikan) marilah kita fokus mendorong konsumsi. Akan tetapi, kalau kita tidak memproduksi di dalam negeri, konsumsi itu datangnya dari impor. Jadi, nilai tambahnya sebenarnya tidak ada di negara kita, adanya di produsen negara lain," kata Febrio. (FER/CAS)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000