Pemulihan RI Terus Berlanjut
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi RI diyakini terus berlanjut secara lebih merata. Akan tetapi, setidaknya ada dua tantangan yang harus dihadapi, yakni pemulihan sektor korporasi dan pertumbuhan kredit perbankan yang berjalan lambat.
Optimisme itu didasari sejumlah indikator ekonomi yang terjaga, antara lain perkiraan inflasi yang berkisar 3-3,5 persen dan defisit transaksi berjalan yang kurang dari 2 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir tahun ini.
"Kalaupun ada soal non-ekonomi di 2018 dan 2019, stabilitas ekonomi tetap dijaga," kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo dalam pertemuan terbatas dengan media di Jakarta, Rabu (22/11).
Hal non-ekonomi itu adalah tensi politik yang akan meningkat karena ada 171 pilkada pada 2018 dan pendaftaran calon presiden untuk Pemilu 2019 pada Agustus 2018.
Agus menyatakan, sejauh ini risiko terkelola dengan baik. Keyakinan tersebut juga disampaikan ke pasar.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menambahkan, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini diperkirakan berkisar 8-8,1 persen dibandingkan dengan 2016. Namun, korporasi memiliki alternatif pembiayaan melalui pasar keuangan.
"Jadi, kalau pertumbuhan kredit ditambah dengan pertumbuhan pembiayaan dari pasar keuangan, ternyata masih baik," kata Erwin.
Secara terpisah, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menyampaikan, dunia perbankan akan menghadapi tantangan yang semakin berat di tahun-tahun mendatang. Setelah era konsolidasi pasca-ledakan komoditas, perbankan akan menghadapi sejumlah tantangan yang lebih kompleks, yakni volatilitas pasar keuangan dan merebaknya teknologi finansial (tekfin).
Halim, dalam paparannya pada diskusi panel yang digelarInstitute for Development of Economics and Finance, di Jakarta, kemarin, menyatakan, pertumbuhan ekonomi hingga 2014 banyak didorong ekspansi kredit perbankan. Dananya bersumber dari utang luar negeri dan arus modal swasta dari luar negeri.
Namun, sejak 2015, pertumbuhan ekonomi banyak didorong ekspansi rekening pemerintah yang mendapatkan sumber dana dari utang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini antara lain tecermin dari rasio aset BUMN terhadap PDB yang meningkat dari 38 persen di 2011 menjadi 52 persen di 2016.
Utang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, menurut Halim, perlu diwaspadai. Alasannya, situasi eksternal kemungkinan menyebabkan peningkatan volatilitas di pasar uang. Hal ini antara lain disebabkan proses China menuju keseimbangan ekonomi baru yang terus berlangsung dan normalisasi tingkat bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang akan berlangsung secara bertahap.
Dalam lima tahun terakhir, menurut Halim, kinerja perbankan cenderung melambat, baik dari sisi dana maupun kredit.
Tekfin
Tantangan pada tahun-tahun yang akan datang, kata Halim, antara lain, persaingan yang meningkat sehingga menurunkan keuntungan, regulasi yang kian ketat, dan risiko pemburukan kualitas kredit. Kehadiran layanan digital atau tekfin juga menjadi tantangan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur PT Bank Central Asia Tbk Suwignyo Budiman menyatakan, saat ini ada 165 perusahaan tekfin yang tercatat dan mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Untuk pinjaman, tekfin sudah berperan untuk volume kecil. Untuk volume besar, tetap butuh kapasitas, pengalaman, dan keahlian bank.
"Persoalannya jika nanti tekfin diberi izin usaha seperti bank," kata Suwignyo. (LAS/IDR)